Minggu, 28 April 2013

KEMBALIIN NYOKAP GUE!!


Gue Destira. Umur gue saat ini masih 19 tahun. Terbilang udah dewasa, tapi nyatanya mungkin ngga. Gue masih suka nyetel musik keras-keras waktu pikiran gue lagi stres, masih suka ngamuk kalo lagi bete dibawelin.
Sodara gue ada 3. Satu dari nyokap dan dua dari bokap gue. Dua cewek dan 1 cowok. Bokap gue udah meninggal sejak, gue sendiri gak tau persis kapan bokap gue meninggal. Gak terlintas dibenak gue buat tanya soal itu ke nyokap gue.
Nyokap gue sosok perempuan yang tanggung. (?) gue gak inget kapan terakhir kali gue ngerasa kalo dia itu perempuan tangguh. Sejak bokap gue meninggal nyokap gue nikah lagi sama seorang laki-laki yang gak pernah gue kenal. Gue tau itu bokap tiri gue waktu mereka udah nikah. Picik.
Gue ngerasa gak punya sesuatu yang bisa gue banggain dari berantakannya hidup gue. Sampe segede ini, gue tetep masih ngerasa gak punya siapa-siapa. Disaat gue punya banyak masalah, yang bisa gue lakuin Cuma nutup muka gue sampe gak ada satupun orang yang tau kalo gue lagi nangis. Gue gak tau siapa yang egois dalam peristiwa ini atau mungkin juga karena gue terlalu menutup diri gue.
Teknologi didunia semakin canggih, gue juga gak munafik kalo gue suka main-main disosial media. Mana mungkin gue harus ketinggalan dimasa sekarang yang serba modern. Disini gue ngerasa punya banyak temen, walaupun pada dasarnya gue gak begitu banyak terbuka soal hidup gue.
Disini masalahnya, bukan Cuma gue yang terjebak dan terjerat dalam dunia ini. Nyokap gue. Dia orang baru didunia ini, dia juga bakal banyak ketemu orang baru. Dia gak bisa ngendaliin dirinya. Sampe akhirnya dia terjebak sama cinta dunia maya.
Cinta itu buta. Dan akhirnya gue percaya.
Dia berubah. Drastis. Dia udah gak peduli lagi keadaan gue, dunia gue, bahkan perasaan gue. Terkadang, gue ngerasa bersalah. Gue takut apa yang dia bayangin soal gue terlalu banyak menuntut dia. Rumah tangga, jangan ditanya. Semua berantakan. Tak terkecuali hidup gue. Dia bahkan sampe hati bilang kalo gue berubah. Gue jadi pengen ketawa sekenceng-kencengnya. Sebenarnya yang menghindar dia atau gue?
Gue ngerasa kehilangan sosok nyokap yang selalu gue rinduin, sosok nyokap yang harusnya ada didepan gue waktu gue pegang Qur’an. Entah. Mungkin karena gue yang terlalu berkhayal. Gue rasa, gue gak pernah menuntut apa-apa sama dia. Gue gak minta dia selalu ada buat gue, karena pada kenyataannya gue masih bisa dapetin apa yang gue mau. Gue juga gak minta dia jadi sempurna kaya apa yang selalu gue liat disinetron yang selalu ngegambarin sosok ibu yang sempurna. Ngga. Bahkan orang terbaikpun pasti punya kekurangan. Gue Cuma mau dia kembali. Kaya nyokap yang sempet gue kenal dulu. Apa itu semua berlebihan?
Gue ngerasa hidup gue udah berakhir. Bahkan sejak gue masih berupa janin. Ironis. Memang. Tapi akhirnya gue sadar. Tuhan Cuma mau bikin semuanya sempurna sampe waktunya tiba. Gue percaya kalo suatu saat nanti gue bisa jadi apa yang gue mau. Kasih sayang itu semua orang bisa kasih. Walaupun gue gak bisa dapetin itu sepenuhnya dari nyokap gue, gue masih tetep ngerasa nyaman sama kehidupan gue.Terimakasih. Seengganya gue bisa belajar untuk jadi orang tua yang baik buat anak-anak gue nanti.

Sabtu, 27 April 2013

Tetap Seperti Ini



Anjas, pria gila yang aku temui dua hari yang lalu. Baiklah upakan. Dia tidak keberatan dengan panggilan itu. Bahkan dia seringkali tertawa jika kalimat itu terlontar dari mulutku.
Aku pikir mungkin dia satu-satunya pria tergila yang pernah aku temui. Namun, jika aku perlu mengatakan hal terjujur aku tertarik padanya sejak pertama kali dia mengajakku berbincang.
“Hai, apa kau tak tahu? Aku memperhatikanmu sejak tadi. Apa kau tak menyukaiku?” tanya seseorang tiba-tiba. Aku sadar akan keberadaannya disampingku sejak tadi. Aku juga tahu kalau dia seringkali melirik kearahku, namun kukira dia sedang melihat seseorang yang akan keluar dari ruang facial.
“Apa kau bodoh? Kau menanyakan ‘apa aku menyukaimu’ seperti kau sedang bertanya ‘sudah makan atau belum’.”
“Jadi maksudmu kau tak menyukaiku? Lihat aku! Aku tampan dan, menarik. Semua wanita tergila-gila padaku.”
“mungkin karena mereka wanita bodoh yang rela membuang-buang waktunya hanya untuk menggilaimu.” Ujarku tanpa menunggu jawaban darinya.
“Hai gadis! Jika sikapmu seperti ini tidak akan ada pria yang menyukaimu.” Ucapnya kemudian dengan lantang saat aku beranjak menjauh. Dasar tak tahu malu.
“Oya? Jika tidak akan ada yang menyukaiku lalu mengapa ada seorang pria yang mau meneriakiku dan mengatakan bahwa tidak akan ada yang menyukaiku. Apakah sebenarnya dia menyukaiku” jawabku puas sambil tetap diposisi berdiriku.
“Hei gadis lihat saja! Aku berjanji akan membuatmu mencintaiku dan menjadikanmu wanita bodoh seperti yang kau katakan!” teriaknya lagi, tak ingin kalah.
“Sunggih? Coba saja!” aku berlalu tanpa melihat kearahnya lagi. Tanpa sadar aku mengembangkan senyum dari kedua sudut bibirku.
Entahlah! Tak tahu makhluk apa yang baru saja aku jumpai. Dia seperti meteor yang bersinar dikejauhan namun tega menghamtam bumi dengan panasnya hingga meninggalkan bercak kasar.
“Hai kita bertemu lagi. Apa kau tidak berpikir bahwa kita ini jodoh.” Senyuman bodoh itu lagi-lagi membuatku muak. Rasanya ingin segera aku keluarkan sarapan yang baru setengah jam lalu aku masukan kedalam perutku.
“Jika pertemuan kebetulan itu menandakan jodoh, mungkin aku sudah menikah dengan guruku sejak lama.”
“Wow, kurasa itu sangat sadis.” Jawabannya sambil mengernyitkan keningnya. Baru saja kulangkahkan kakiku satu langkah, dia segera menghalangi jalanku.
“Kau tak ingin berbincang-bincang denganku?”
“Untuk apa? Membuat diriku tampak bodoh?” jawaban yang terlontar dari mulutku memang tak berperasaan. Aku segera memutarkan badanku untuk mencari jalan lain.
“Aku akan memastikan kau akan kembali mencariku.” Itu kalimat yang sangat kubenci. Ucapan itu membuatku lagi-lagi menghentikan langkahku. “Memangnya kau siapa? Sopir angkot?” ledekku. Akhirnya kepulanganku kali ini berhasil.
Kubantingkan tubuhku diatas kasur empuk setelah setengah jam aku melewati jalanan pengap penuh polusi knalpot yang pemiliknya tidak bertanggungjawab. Tak lama kudengar ponselku berdering menyanyikan lagu favoriteku. Aku terdiam sejenak saat melihat panggilan masuk diponselku mengingat nomor siapa yang mencoba untuk menghubungiku. Baiklah. Aku menyerah, aku tdak mengenal nomor ini. Aku biarkan pangilan itu terhenti tanpaku angkat.
Terdengar lagi. Baik. Mungkin ini penting.
“Dengan Shyra?”
“Ya benar, maaf dengan siapa ini?”
“Pria bodoh yang tampan dan menarik.”
“Kau.” Expresi kaget sekaligus bingung sangat nampak diwajahku. “Darimana kau dapatkan nomor ponselku?”
“Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku bisa memastikan kau akan mencariku.”
Aku bisa menebak dia pasti sedang terseyum puas sambil menumpangkan kakinya.
“Punya kepentingan apa aku sampai harus mencarimu. Dasar bodoh!”
“Mungkin sekarang itu akan berubah.” Terdengar dia terkekeh, semakin benci aku mendengarnya.
“Darimana kau dapatkan nomorku?” kuulangi lagi pertanyaanku.
“Sepertinya seseorang menjatuhkan dompetnya, aku tidak tahu apa dia sengaja atau tidak.” Sontak aku kaget dengan penjelasannya, aku baru menyadari bahwa dompetku tak ada ditas.
“Dimana kau sekarang?” dengan geram aku menanyakan keberadaannya,
“Diujung ponselmu.” Lagi lagi dia terkekeh kegirangan.
“Aku bisa melaporkanmu kepolisi dengan tuduhan kau mencuri jika kau tidak memberitahu keberadaanmu. Aku tidak main-main.” Aku rasa kali ini dia tidak bisa dibawa besabar.
“Aku ada ditempat terakhir kita bertemu.” Oh ya ampun aku sungguh benci mendengar suaranya.
Segera kuputuskan panggilannya dan memutuskan untuk segera menyelesaikan urusan ini. Kecerobohanku. Ya, aku tahu. Sudahlah tak perlu dibahas.
“Alya, apa kau bisa membantuku? Aku sangat membutuhkanmu saat ini. Tolong temui aku dihalte 15.” Begitulah voicenote yang aku kirimkan kepada Alya sahabatku. Aku yakin dia pasti bisa menyelesaikan persoalan ini.
Tak berselang lama saat aku mengirimkan voicenote itu Alya sudah ada dihadapanku. “Aku butuh bantuanmu. Aku tidak mungkin menghampirinya. Kau mau ‘kan? Aku mohon!”
“Kau memang sangat menyusahkan. Bagaimana mungkin barang sepenting itu kau jatuhkan.” Gerutu Alya, dia memang selalu seperti ini jika kumintai bantuan. Namun semuanya selalu dilakukannya. Sudahlah tak perlu kupermasalahkan.
“Dimana aku bisa menemui pria itu?” Oh rasanya itu selalu menjadi kata-kata paling indah yang aku dengar. “Dia ada didalam sana, aku yakin dia pasti sedang menungguku.” Tak menunggu ba-bi-bu lagi, alya bergegas pergi meninggalkan Shyra diluar halte.
Sesampainya dihalte Alya celingukan mencari sosok pria yang tadi Shyra ceritakan. Pria bertubuh tinggi, bermuka mesum dan akan tampak begitu menyebalkan. Huh, bagaimana tidak dia mengatakan hal itu, dia ‘kan membencinya. Mungkin saja pria itu benar kalau dia itu tampan dan sangat menarik. Baiklah, lupakan. Alya mengerti seperti apa sahabatnya, dia selalu menceracau jika sedang tak suka dengan oranglain.
“Alya” panggilan itu memang sangat mengagetkan, membuyarkan konsentrasi Alya yang sedang fokus mencari sosok pria itu. “Sedang apa kau disini?” Alya sedikit mengernyitkan dahinya mengingat siapa orang yang sedang mengajaknya berbincang. “Anjas!” serunya setelah ingatannya pulih, maklum mereka tidak bertemu sudah sekitar 2 tahun lalu, dan anjas memang banyak mengalami perubahan. Ya, dia tampak begitu memesona. “Aku sedang mencari seseorang, kau sendiri?” Lanjutku menjawab pertanyaan Anjas yang tertunda karena memulihkan ingatan tadi. “Aku juga sedang menunggu seseorang.” “Perempuan mana lagi yang sedang kau tunggu?” ledekku. Aku tahu jelas seperti apa Anjas, dia memang playboy. “Hei, saring kata-katamu itu, kali ini aku menunggu perempuan baik-baik.” Jawabnya sambil tertawa kegirangan seakan mengerti maksud dari pertanyaanku. “Kau sedang mencari siapa? Apa teman kencan butamu?” bibirnya menyeringai tanda berbalik meledekku. “Tentu saja tidak. Aku sedang mencari seorang pria yang menemukan dompet milik temanku, tadi dia menjatuhkannya.” “Shyra!” aku memiringkan kepalaku sambil melihat wajahnya. “Kau mengenalnya?” aku segera teringat, lalu melihat tangannya. Tentu saja dia sedang menggenggam dompet milik Shyra. “Kau memang benar-benar menyebalkan. Kembalikan dompet itu.” Aku memaksanya. Namun dia malah menyembunyikan tangannya. “Ayolah Alya, sebenarnya kau akan membuat semuanya begitu mudah.” Dia memohon. Sama persis ketika dia memintaku untuk dijodohkan pada Maya anak pemilik yayasan yang begitu populer. “Tidak! Kembalikan dompet itu.” “Alya.” “Anjas, jika  aku bilang tidak ya tidak. Kau mengerti? Shyra sudah memiliki kekasih, kalaupun tidak aku tidak akan mengumpankannya kepadamu. Dia perempuan baik-baik. Kau dengar itu?!” aku segera merampas dompet Shyra yang sejak tadi digenggamnya. Anjas selalu saja seperti itu.
*****
“Kau mendapatkannya?” tatapku pada Alya, namun dia tak segera memberikan jawaban. Mukanya ditekuk dalam-dalam seakan-akan ada selalu yang mengganggunya. “Alya, apa kau baik-baik saja?”
“Aku mendapatkannya, aku baik-baik saja kau tak perlu khawatir.” Alya tersenyum, dia memang selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Sudahlah, mungkin dia sedikit lelah.
“Aku akan mentraktirmu, kau mau?” Alya hanya mengangguk tanda menyetujui ajakanku. Aku mencoba tersenyum walau pada dasarnya aku bingung dengan sikap Alya.
“Aku minta kau tidak mendekati pria itu.” Ucap Alya tiba-tiba, setelah kami tiba disebuah restoran. “Apa sejak tadi kau memikirkan hal ini? Memikirkanku?” Aku tersenyum lagi, pada dasarnya aku memang harus berhati-hati tapi aku senang Alya perhatian padaku. Dia memang selalu bisa diandalkan. “Kau tenang saja, aku sudah bisa menebak seperti apa porsi pria seperti dia. Tapi terimakasih banyak kau sudah peduli padaku” “Hei, apa maksudmu?” “Maksudku kau memang selalu peduli.” Aku menyeringai manja padanya.
*****
Aku tak tahu ini dikategorikan hal apa. Yang jelas aku pikir ini kecerobohan. Anjas, pria yang namanya baru belakangan ini aku tahu dia terus menghubungiku. Meski pada awalnya dia banyak berbual. Entahlah, aku merasa tertarik padanya. Padahal Alya sudah memperingatkanku, aku aku juga sudah tahu pria seperti apa Anjas ini. Tapi, ..... Sudalah mungkin kali ini aku tidak bisa lagi mengelak. Apa yang harus aku lakukan agar rasa ini bisa pupus kembali. Aku tak keberatan jika harus kembali membencinya. Apa juga yang harus aku lakukan terhadap Ryan, pria yang telah 2tahun menemaniku. Aku tahu, kami long distance. Tapi apa harus aku melakukan hal ini terhadap Ryan. Perempuan macam apa aku ini. Ya Tuhan, tolong aku.
Dan yang baru aku ketahui bahwa Anjas tak seperti apa yang aku judge dulu. Dia menyenangkan, perhatian terlebih dia selalu ada untukku jika dibandingkan dengan Ryan. Bagaimana tidak? Ryan memang jauh, bagaimana mungkin dia akan selalu ada untukku. Tapi pantaskah? Salahkah perasaan ini?
*****
Semuanya terjadi begitu saja. Begitupun perasaan ini. Aku tahu Anjas menyukaiku dia berulang kali mengatakan itu. Aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa aku memiliki Ryan tapi yang dia katakan “Dia ‘kan jauh, manamungkin dia tahu?” masih terdengar bagaimana saat dia mengatakan itu sambil terkekeh namun matanya mmancarkan keputusasaan.
Salahku, aku juga sudah mengatakan padanya bahwa aku juga menyukainya. Namun, aku rasa hubungan ini hanya akan sebatas ini. Aku tegaskan, aku menyukainya. Baiklah, aku juga mungkin sudah mulai mencintainya. Aku suka cara dia memperlakukanku bagai putri. Menjemput dan mengantarkanku kuliah. Aku suka dia yang selalu ada untukku, padahal sebenarnya dia juga memiliki kesibukannya sendiri. Aku juga suka dia yang dewasa. Mungkin Anjas playboy, aku tahu. Sama seperti saat Alya menceritakannya tentang Anjas padaku. Namun saat bersamaku, aku tak merasakan hal itu. Apa ini yang dinamakan cinta buta? Atau mungkin aku yang terlalu menutup mata. Ryan, maafkan aku. Hanya kalimat itu yang selalu aku ucapkan dalam hatiku.

Senin, 22 April 2013

Aku Ingin Masuk Negeri



“Aku bukan orang miskin ! Tuhan Cuma ‘gak kasih aku rezeki yang banyak saja.” “Dasar bodoh ! sama saja, berarti kamu miskin.” Mereka selalu menertawakanku, mengejek keadaanku. memang dunia saat ini hanya untuk orang kaya ‘yah? . jika benar demikian, betapa tak adilnya dunia ini untukku.
Didunia ini kita memang tak ditakdirkan menjadi orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah, selain itu ayah ibuku diutus oleh Tuhan untuk penitipan amanat yang aku pikir berlebihan.
Aku anak ke-9 dari sembilan bersaudara. Hanya tinggal menambah 2 lagi kami sudah bisa menjadi tim sepak bola.
Kakakku yang pertama bernama Aditya Pratama, kakakku yang satu ini sangat bijak. Dia selalu menjadi penengah diantara semua masalah yang selalu terjadi diantara kita. Dia sudah memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan. Dengan pendidikan lulusan S1 teknologi tak sulit baginya untuk memiliki pekerjaan. Sehingga terkadang beban ayah selalu dia ringankan. Hebat.
Kakakku yang kedua bernama Beni Anggara, dia sangat sopan sekali. Dia begitu lembut sehingga para ibu-ibu begitu menyukainya. Malah sempat ada seorang ibu yang datang kerumah untuk melamar kak Beni untuk anaknya. Hihihi. Konyol. Tapi sekarang dia sudah menikah dengan seorang gadis yang sangat dia cintai. Sebentar lagi juga punya adik bayi.
Cici Ana Maya kakakku yang ketiga. Dia begitu cerewet, dia selalu menceramahi semua yang kita lakukan. Sampai-sampai, kekasih yang sering dibawa kami kerumah selalu tak lepas dari omelannya. Kak cici ditinggal meninggal oleh suaminya 2 tahun lalu. Dia begitu terpukul. Ayah sudah menyarankan untuk cepat mencari penggantinya, hanya saja kak cici mengatakan dia belum memiliki pengganti untuk menggantikan posisi suaminya. Kasihan.
Yang keempat Desi Setiawati. Kakakku yang satu ini Religius. Dia yang sering mengajariku ilmu-ilmu agama. Dia senang sekali membaca sehingga aku sering sekali menceritakan pengetahuan yang dia dapat.
Kakakku yang satu ini TOMBOY, dia bernama Eva Nisrina. Penampilannya layak seorang laki-laki bedanya hanya saja dia memiliki rambut yang panjang. Setiap sore dia sudah mangkal di pos ronda menunggu teman-teman lelakinya plus penampilan ala preman dengan celana robek dibagian lututnya. Ayah, ibu juga kak Desi selalu memperingatinya. Memang menurut , hanya Cuma berlaku untuk satu hari saja. Dia bilang “Aku tomboy  ayah ibu tak suka, kalau aku berjilbab teman-teman selalu menertawaiku” ujarnya dengan muka tertunduk dan mengkerut. Lucu sekali.
Kakakku yang satu ini ganteng sekali. Kalau aku bukan adiknya aku juga menyukainya. Namanya Farel Ferdinan. Selain wajahnya yang tampan dia juga type setia. Wah, lelaki idaman.
Lain kak Farel lain kak Ginanjar. Kalau dilihat dari ketampanan jelas baik kak Farel. Namun entah mengapa para wanita lebih tertarik kepada kak Anjar. Hal ini membuatnya menjadi sering bergunta-ganti perempuan. Aku hampir pusing memikirkan siapa pacar yang sesungguhnya. Setiap ditanya siapa, dia selalu menjawab “hanya teman”. Ko’ temannya perempuan semua?. Namun ini menguntungkanku, aku menjadi sering berjalan-jalan dan ditraktir oleh perempuan yang dia bilang “hanya teman”.
Kakakku yang terakhir ini sangat nakal, namanya Hasan Permana. Ibu sering sekali menjewer kupingnya. Dia juga tak jarang menjailiku. Saat itu pernah dia menempelkan kunyahan permen karet dirambutku, sampai-sampai ibu harus menggunting sebagian rambutku. Aku kesal sekali. Namun pernah juga ketika aku dipalak oleh anak-anak nakal disekolah, dia menolongku. Sampai-sampai mukanya bonyok. Aku jadi terharu.
Namaku sendiri adalah Indah Azkya Putri. Putri bontot dari pasangan Bapak Andi Permana dan Ibu Lina Nurani. Aku masih menduduki bangku SMP kelas VIII. Aku bukan sekolah disekolah favorit, karena aku tahu biayanya begitu besar. Aku mengerti akan keadaan kami. Aku juga tak berhak memaksakan apa yang aku inginkan. Ayah selalu bilang “sekolah didekat rumah biaya tidak akan terlalu mencekik”. Apa boleh buat, lagipula aku merasa begitu kasihan kepada ayah dan ibu. Akupun tak jarang membantu mereka menjajakan dagangan ke setiap rumah, untuk mencari keuntung satu peser dua peser. Aku tak menyalahkan mereka dengan semua keterbatasan materi yang kami alami. Sejauh ini tak pernah ada anak ayah dan ibu yang mengeluh. Mereka menikmatinya. Malah kakakku yang pertama mendapatkan beasiswa untuk prestasinya.
Sebentar lagi kenaikan kelas. Teman-temanku sudah mulai memfokuskan pikirannya kepada pelajaran. Mereka sudah berisik menentukan sekolah mana yang akan mereka masuki ditingkat SMA nanti. Aku. Aku memang memiliki impian tentang ini. Aku ingin masuk sekolah negeri, yang ada dipusat perkotaan itu. Tetanggaku ada yang masuk sekolah itu. Kakak baik hati yang tampan, dia begitu ramah. Aku sering menanyakan tentang sekolahnya, prestasi-prestasinya, belum lagi fasilitas yang ada. Benar-benar sekolah impian. Aku ingin memasukinya.
Namun secepat itu pula aku terbangun dari semua mimpi-mimpiku yang konyol. Aku sadar betul siapa aku.
*****
Aku naik kelas. Aku senang sekali. Memang tak mendapat nilai yang lebih, namun hanya PAS. Kak hasan selalu mengejek “masa nilainya hanya rata-rata terus. Setiap tahun tak ada kemajuan dengan otakmu.” Aku tak memperdulikannya. Karena memang kenyataannya memang seperti itu. Biarkan tangan ajaib ibu saja yang bicara. Hihihi.
Suatu hari pelajaran BP. Palajaran ini selalu mengkait dengan perasaan. Minggu ini pelajaran untuk menentukan pilihan sekolah mana yang ingin dimasuki dan jurusan apa yang akan diambil. Sampai setengah pelajaran berlangsung, pulpenku hanya bergerak-gerak tak jelas. Kertas yang ada dihadapanku masih bersih, aku tak tahu harus menuliskan apa. “Kok’ kertasnya masih kosong” tanya Bu Mina tiba-tiba, membuyarkan semua lamunanku. Aku meliriknya sejenak. Masih tetap dengan posisi semula, menopang dagu dan mengetuk-ngetukkan pulpenku ke atas meja. Aku tak mungkin menuliskan bahwa aku tak punya keinginan untuk memasuki sekolah SMA, kalaupun ada bagaimana mungkin aku bisa merealisasikannya. Aku tak bergeming sedikitpun dari lamunanku. Sampai aku menyadari bahwa semua mata menatapku karena aku malah membiarkan Bu Mina mematung disampingku sambil menunggu jawaban dari mulutku. “Ketika jam istirahat bisa ‘kan temui ibu diruangan ibu!” Sampai Bu Mina berlalupun aku masih belum menuliskan satu katapun dikertas yang Bu Mina beri tadi. Huuhh. Aku semakin bingung saja. Apa aku akan dimarahi karena aku mengacuhkannya tadi?. Ya sudahlah aku tak peduli.
*****
Sampai waktu istirahat tiba. Aku menuruti keinginan Bu Mina tadi untuk menghadapnya. Aku duduk, dan aku merasa sedikit heran dengan tatapannya. Kami saling tak bicara “Apa kamu ada masalah?” Tanyanya memecah keheningan. “Masalah? Banyak. Bukankah hidup memang konflik.” Jawabku dengan santainya. “Baiklah. Bagaimana dengan masalah yang tadi kita bicarakan didalam kelas?” aku kembali terdiam. Aku kira pelajaran ini hanya 2 jam dalam 1minggu, tapi ternyata untuk minggu ini aku mendapat tambahan. “Apa memang masalah yang sangat besar?” tanyanya lagi. Aku kembali menatapnya, sambil mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang memang sejak tadi bergulat dalam pikiranku, namun bagaimana mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. “Aku ingin masuk negeri.” Dia sedikit mengkerutkan dahi, tanda tak mengerti apa yang aku katakan. “Aku ingin masuk sekolah negeri. Tapi bagaimana mungkin. Aku tak pintar. Dan aku bukan orang kaya. Kalaupun mungkin aku bisa bekerja, pekerjaan apa yang mau mengupahku dengan gaji 1.000.000.000 per bulan untuk memenuhi biaya sekolahku diusiaku yang masih sekecil ini.” Tuturku panjang lebar. Namun Bu Mina hanya tersenyum, sambil mengacak-ngacak rambut kuncir kudaku. “Tak ada batasan seseorang untuk bermimpi sayang. Bahkan semua orang harus memiliki satu saja minimal mimpi yang harus menjadi target pencapaiannya. Mimpi itu harus terus dipupuk agar ia tetap tumbuh dan akan menghasilkan bunga yang indah.” Aku menggaruk kepalaku, tanda aku tak memahami apa yang dia ucapkan “maksudnya apa?” “Kamu punya mimpi. Mimpimu adalah acuan untuk kamu terus berlari. Kamu harus bisa mencapai semua mimpi itu. Tuhan tak tidur, DIA mengerti apa yang kamu butuhkan sayang.” “Caranya bagaimana? Apakah aku harus bekerja mati-matian seperti ayah?” “Tugasmu disini hanya belajar dan melakukan hal yang terbaik. Soal materi biar Tuhan yang beri jalan. Tak ada yang mustahil didunia ini jika seseorang mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Apa kau mengerti?” Bu Mina kembali tersenyum padaku . “Ya. Aku mengerti.” Aku memang mengerti kali ini. Aku mengerti apa yang harus aku lakukan demi mewujudkan semua mimpiku. “Soal tugas yang tadi. Boleh aku meminta kertas dan pulpen?” Bu Mina mengengguk kecil.
“Aku ingin masuk sekolah negeri SMA 1 Tunas Bangsa. Alasannya karena aku ingin mewujudkan semua impianku. Menjadi manusia yang bisa dihargai. Sukses dengan hasil keringatku sendiri. Terlebih membuat ayah ibu juga kakak-kakakku bangga padaku.”
Aku pergi kembali kekelasku, dengan sebuah pencerahan yang Bu Mina alirkan keotakku. Aku berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa meneruskan sekolahku. Walau itu hanya sebatas beasiswa. Aku akan merasa bangga sekali ketika seseorang menyebutku dengan kalimat “Dia (indah) dari keluarga sederhana namun pintar sehingga dia mampu menjadi orang yang sukses.”

Salam Semangat.

Deria Triana Fauzia “Fafaw”

Sabtu, 20 April 2013

Tentang Kita

Ini bukan tentang keegoisan
Bukan tentang waktu yang semakin memeluk hati dengan erat
Bukan tentang aku yang membiarkanmu masuk dalam kehidupanku
Bukan tentang kau yang sengaja menyimpan jantungmu menjadi bagian dalam tubuhku
Bukan tentang sebab atau akibat dari apa yang kita lakukan
Bukan tentang jarak yang membuat kita jauh
Bukan tentang kerinduan yang kian hari semakin menyesakkan dada
Bukan tentang airmata yang terpaksa jatuh
Bukan tentang keikhlasan yang memang harus kita hadapi
Bukan tentang rasa sepi yang datang saat malam tiba
Bukan tentang perbedaan yang harus kita seimbangkan
Bukan tentang pendapat yang harus selalu dipertahankan
Ini semua tentang kita.
Kita yang membiarkan rasa itu tumbuh dan berbunga bahkan begitu subur.


"Selamat pagi mentari" Aku menggeliat nikmat.
Itu yang selalu kuucapkan saat semburat cahaya itu seringkali
menyilaukan mataku. Sambil sedikit mengucek mataku aku kibas gordyn
kamar yang masih meninggalkan jejak bintang yang memenuhi ruangan ini.
"Kau cantik sekali hari ini, aku bukan merayumu tapi ini kenyataan
semua orang juga pasti akan mengatakan ini. Oya tadi malam bintang
bilang hari ini kau tak boleh bersedih, karena nanti malam dia akan
datang lagi." Ini memang sudah menjadi ritual wajib yang selalu aku
lakukan setiap pagi. Menyapa kawan setiaku. Kurasa itu baik.
"Aulita cepat bangun, ini sudah siang. Kamu bisa terlambat kesekolah,
jakarta macet apa kamu lupa?" Terdengar suara itu lagi dari luar
kamar, suara keras namun selalu terdengar meneduhkan bagiku. Sudah
ketiga kalinya Ibu meneriakkan kalimat itu. "Iya bu, Lita sudah
bangun." Oh ya ampun, malas sekali rasanya aku sekolah. Kenapa aku
benci sekali aktifitas ini. Mentari mengapa kau tak menjelma menjadi
manusia saat pagi dan menemaniku sekolah agar aku tak merasa kesepian,
mengapa kau hanya bisa menatapku jauh. Dengan manja aku bergegas
bangun dari tempat tidurku lalu menyambar handukku untuk segera mandi.

"Aku tak mau diantar kesekolah." Tegasku saat tiba dimeja makan
memenuhi perintah ibu untuk sarapan. "Lalu kamu mau kesekolah naik
apa?" Dengan malas ibu menjawab penuturanku. "Aku bisa naik bis atau
mentromini (sambil menerawang) kopaja mungkin, angkot juga tak apa."
Ujarku dengan yakin tanpa pernah tahu Ayah menatapku sejak tadi.
"Kapan kamu bisa mengerti Ibu?" Tanyanya resah. "Kapan? Aku selalu
mengerti Ibu." "Kalau kamu pergi naik metromini kapan sampai
disekolah? Ini sudah siang, kamu bisa telat." Tangkis Ayah kemudian.
"Ayah..." Keluhku manja. "Makanya kalau mau naik angkutan umum bangun
pagi coba." "Sungguh Ayah" jawabku terkaget. "Ayah tidak janji"
"Ayah..." "Baiklah" Aku dengan gembira segera memeluk Ayah rasanya ini
seperti kejutan. "Terimakasih Ayah, Assalamu'alaikun Ibu Lita pergi
yah" aku sedikit berlari setelah mencium tangan keduanya. "Kamu belum
sarapan Lita" "Sudah ko Lita bawa satu potong roti, dah Ibu" teriakku
dari jauh.

Setiba disekolah, lemas sekali rasanya kakiku untuk melangkah melewati
gerbang itu. Neraka macam apa yang ada didunia seindah ini? Mentari
apa kau akan tetap membiarkanku sendiri.

"Awas awas"
"Ahhh..."
Sesosok pria segera turun dari sepedanya dan segera menghampiriku yang
meringis kesakitan.
"Maaf" dengan raut wajah penuh penyesalan dia membantu aku berdiri.
"Aku tidak apa-apa" tukasku agar sedikit membuatnya tenang dan tidak
merasa bersalah.
"Apa lututmu terluka?" Pria ini tetap dengan ekspresi cemas yang sejak
tadi tak lepas memandangku. "Sepertinya tidak" aku membiarkan tubuhku
bangkit sejujurnya aku jadi berbalik merasa bersalah karena sudah
membuatnya khawatir. "Sekali lagi aku minta maaf, kecelakaan barusan
memang kecerobohanku sepeda lamaku ini memang harus segera diperbaiki
karena sudah banyak yang rusak. Termasuk remnya." Paparnya dengan
mencoba tersenyum kepadaku sambil terus mengusap-usap sepeda tuanya.
"Sepertinya aku harus cepat-cepat masuk karena harus segera menemui
kepala sekolah." Pria itu cepat menghilang dari pandanganku. Tapi,
siapa dia? Aku baru melihatnya. Apa dia murid baru? Atau aku yang
terlalu menutup diri dan asyik dengan kehidupanku saja.

Kembali kuayunkan langkahku menuju kelas dimana semua kembali terasa
beku, memasuki tempat itu serasa berada diplanet yang jauh dari
mentari. Beku, dingin, dan tak ada kehidupan. Aku kembali sendiri.

Seusai pelajaran fisika aku bergegas menuju perpustakaan, salah satu
tempat favorit yang selalu aku kunjungi. Aku tak tertarik untuk pergi
kekantin untuk sedikit membeli cemilan atau sekedar duduk-duduk
diberanda berbaur dengan teman sebayaku yang lain. Itu tak mungkin,
karena... Sudahlah aku tak mau terlalu berlarut-larut dalam masalah
sulit ini. Kupikir.
Kuambil novel dari susunan buku-buku pada rak yang tersusun rapi,
untuk melanjutkan membaca novel kemarin yang belum sempat aku
selesaikan. Kadang terpikir, andai saja hidup ini seperti dalam film
'Inkheart' semua yang kubacakan bisa menjadi kenyataan, mungkin aku
takakan pernah merasa kesepian. Pemikiran yang konyol. Segera kugeser
kursi dan dengan cepat tenggelam dalam duniaku.

"Hai !" Suara tiba-tiba itu membuatku terkejut seperti memaksaku
kembali dari dunia imajinasiku ke dunia nyata.
"Kamu perempuan yang tertabrak tadi 'kan?" Pria ini lagi. Tak kusangka
dia masih mengenaliku, yang lain mana pernah peduli.
Aku mengembangkan senyum dan berusaha ramah untuk menyambut kedatangannya.
"Piko bilang, kamu anak pemilik yayasan ini 'yah?" Dia dengan ringan
menanyakan hal itu, dia tak pernah tahu tragisnya sebutan itu bagiku.
Kenapa harus dengan kalimat itu untuk memulai pembicaraan. "Iya, tapi
sebenarnya aku masih manusia biasa." Jawabku dengan malas. Dia malah
terkekeh mendengar jawabanku, "memangnya siapa yang menyebutmu hantu
atau malaikat?" Tangkisnya kemudian sambil tetap tertawa. "Sebetulnya
memang tak ada." Balasku lalu membenarkan kembali posisi dudukku,
ekspresi kecewaku tampak nyata. "Baiklah, aku Gio aku murid baru
disekolah ini. " Uluran tangannya segera aku sambut dengan senyum yang
lagi lagi mengembang setiap melihatnya menatapku. Kenapa tak sejak
tadi kau sebutkan namamu dan tidak memulai perbincangan dengan
mengatakan aku anak pemilik yayasan. Belum juga aku membalas
menyebutkan namaku dia langsung mendahului "dan aku tahu namamu
Aulita. " Senyuman itu kembali kulihat. "Kau suka membaca?" Tanyanya
mencoba mengorek tentang diriku, "sebenarnya tidak terlalu, aku lebih
suka menulis" "Aku juga suka menulis. Mencorat-coret sih lebih
tepatnya." Kami berdua kembali tersenyum dan larut dalam perbincangan
ringan kami.

Tak terasa jam bubar sekolah tiba. Jika bagi banyak anak ini adalah
moment yang ditunggu-tunggu, bagiku juga. Karena dengan demikian aku
akan segera keluar dari planet terpencil ini.
"Hai mentari, terimakasih. " Dengan refleks kuucapkan kalimat itu
sambil menengadahkan wajahku kelangit. 'Untuk apa?' " Untuk apa?
Entahlah, aku pikir hari ini aku bahagia. " Senyum manis segera
menyipitkan kedua mataku. Aku bergegas menghampiri sopirku yang sejak
tadi menunggu.
***
Akhirnya, hari ini aku bisa sedikit bermalas-malasan. Weekend itu
benar-benar hari terindah dalam hidupku. Kubantingkan kembali tubuhku
pada kasur empuk yang sudah beberapa tahun belakangan ini menemani
hariku. Sholat subuh tadi aku tidak ikut berjamaah dengan ayah ibu
karena aku sedikit terlambat, sehingga ketika aku akan memejamkan
kembali mataku sudah mulai terlihat sahabat setiaku akan bersinar.
"Selamat pagi mentari, aku tidur lagi ya', siang nanti mungkin aku
akan menemuimu" ujarku dengan mata mulai terpejam.

"Lita, kamu pasti mau tidur lagi." Sayup-sayup kudengar suara Ibu
begitu jauh. "Ini hari minggu nak, apa kamu lupa? " Teriaknya lagi.
Ibu ini berguyon apa? Aku tahu ini hari minggu mana mungkin aku bisa
lupa. "Kamu bilang hari ini mau belajar, besok kan ulangan kimia." Ini
hari minggu bisa kita lupakan dulu soal kimia?! "Apa, kimia?" Aku
langsung terperanjat, ya ampun bagaimana aku bisa lupa. Untung aku
memasang alarm jauh-jauh hari. Terimakasih Ibu. Secepat mungkin aku
sambit handuk yang menggantung untuk kemudian bergegas mandi.

"Mau kemana kamu, bukannya mau belajar" kuhampiri ibu dengan wajah
cengengesan. "Lita ke taman yah, Lita tidak konsen belajar dirumah
yang ada nanti malah tidur lagi, boleh kan Bu?" Ibu tetap tak
menghiraukan permintaanku. "Diantarkan Pak Asep yah?" Timpahnya
kemudian. "Aku sudah besar Ibu, aku tak mau diantar-antar Pak Asep
lagi. Lagipula ini hanya ke taman kalau belajarnya ditunggu aku malah
tidak fokus nantinya" "Ada saja alasannya anak ini" "Boleh kan yah."
Ucapku kemudian mencari pertolongan pada Ayah yang sejak tadi sibuk
dengan sandwich ditangannya. "Tentu saja boleh nak." Dengan tanpa
pikir panjang Ayah mengizinkanku pergi. "Ayah ini selalu saja seperti
itu." Aku tersenyum puas sambil memandang Ibu "Baiklah, tidak boleh
pulang lewat dari waktu maghrib!" Tak kuhiraukan lagi saran-saran Ibu,
aku langsung segera berlari untuk pergi.

"Hai mentari, senang bisa menemuimu disini. Aku harus belajar
mentari." Ucapku sambil sibuk membuka halaman demi halaman. "Oya kau
bisa membantuku 'kan, kau hafalkan apa yang aku katakan nanti jika aku
membutuhkanmu kau beritahu aku yah."
"Selamat pagi Mentari." Lagi lagi aku dikagetkan oleh suara ini. "Gio"
sapaku dengan terkaget. "Ini sudah siang, mentari sudah meninggi sejak
pukul 06.00 tadi pagi." Tuturku kemudian. "Oya, dirumahku hujan jadi
aku baru bertemu Mentari disini." Senyumannya segera menyipitkan kedua
matanya. "Gio, lagipula mentari itu ada diatas kita mengapa kau
mengucapkannya sambil melihat kearahku." Sambil sedikit risih dengan
tatapannya yang tak lepas memandang bola mataku. "Dari jauh sana aku
melihat ada cahaya, aku pikir mentari itu kau." Tak kusadari aku
menyunggingkan bibirku saat kedua mata kita bertemu. "Apa kau seorang
penulis?"Tanyaku jahil. "Tidak memangnya kenapa?" Jawabnya tak
mengerti dengan arah pembicaraanku. "Pantas saja banyak yang
menyukaimu, kau pandai menyenangkan hati orang lain." Pujiku kemudian.
"Sungguh? Menurut mereka aku menyebalkan. Eh tapi, apa orang lain itu
termasuk kau?" Lagi lagi dia menatapku, semoga dia tak menyadari
pipiku yang merah memudar saat dia mengatakan itu. "Mengapa kau ada
disini?" "Mentari yang menuntunku kesini." "Kau bergurau." Tangkisku
seolah tak percaya. "Aku serius. Kau sendiri sedang apa disini?"
"Besok aku ulangan kimia, jadi aku sedang mempelajarinya." "Aku bisa
membantumu." "Sungguh?" Tak percaya dengan apa yang dia katakan.
"Tentu saja" jawabnya meyakinkanku.
Kami kembali larut dalam dunia kami.
****

"Bagaimana ulanganmu?" Selalu saja dengan awal seperti ini.
Kedatangannya selalu membuyarkan konsentrasiku. "Lancar, terimakasih
sudah mengajariku." Aku tersenyum lebar kearahnya. "Aku tidak
mengajarimu, aku hanya membantumu." "Apa bedanya? Rasanya kata itu
sama saja." Ledekku spontan. "Aku punya lollypop, apa kau mau?"
Sodornya sebuah lollypop berwarna pink kepadaku. "Boleh." Dengan sigap
aku menerimanya, lagi lagi senyum yang menyipitkan mataku. "Mengapa
kau tak pernah terlihat berbaur dengan temanmu yang lain?" Gio, jika
yang baru saja kauberi adalah makanan mungkin aku akan tersedak
mendengar pertanyaanmu, untung ini hanya sebuah lollypop. Kulepaskan
cepat lollypop yang sejak tadi kukulum. Mengapa dengan pertanyaan itu
kau melakukan pendekatan denganku, mengapa tidak kau tanyakan 'apa
makanan favoritku?' Mungkin itu lebih baik. Aku terdiam beberapa saat
sambil menundukkan kepalaku tanda aku berharap dia melupakan
pertanyaannya. Gio, kau tahu? Ini adalah kali pertama aku duduk dengan
seorang pria disebelahku dengan jarak yang begitu dekat. Jangankan
dengan pria, dengan sesama jenispun jarang sekali kecuali duduk
dibangku kelas atau sekedar mengerjakan tugas kelompok.
"Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" Dia mengikuti menundukan
kepala sambil terus mencari sudut mataku. " Ya! maksudku tidak" semoga
saja dia tak menyadari bahwa aku begitu gugup. "Kau ingin menceritakan
sesuatu padaku?" "Tidak! Maksudku mungkin ,Ya!" Mentari aku sungguh
ingin dia hilang ingatan. "Aku tidak akan memaksamu jika kau tidak
berniat untuk bercerita." Tukasnya kemudian seolah tahu aku yang
terdiam kaku bingung dengan jawaban yang harus aku persiapkan. "Gio,
kau tahu aku adalah anak pemilik yayasan ini." Ucapku kemudian memulai
berbicara namun masih dengan nada terbata-bata. "Maksudmu, kau tak
pantas bergaul dengan orang yang tak sederajat denganmu?" Aku sudah
menduga dengan jawaban yang akan Gio lontarkan. "Sebenarnya tidak
seperti itu, sungguh aku tak pernah memiliki pemikiran untuk
membedakan status ini." Dengan cepat aku menjawab pertanyaan terkutuk
itu "Sudah kukatakan bahwa aku manusia biasa, aku sama seperti kalian.
Tak ada yang berbeda diantara kita, tapi entah mengapa mereka seakan
menjauhiku semenjak mereka mengetahui siapa aku. Aku benci ini. Aku
rindu saat ada teman yang selalu ada disampingku, sapaan mereka saat
aku hadir disekolah, mengerjakan tugas bersama."Tuturku panjang lebar.
Aku tertunduk kembali.
"Mungkin mereka segan padamu." "Mengapa harus segan? Aku bukan kepala
sekolah, aku juga tidak menggigit." Jawabku sekenanya, seperti
menghindari kesalahanku. "Mungkin bagi mereka status sosial itu yang
menentukan siapa mereka." "Aku benci kata-kata itu, mengapa harus ada
status sosial padahal kita sama." Dia menghela nafas panjang, seolah
sedang mencari jawaban untukku. "Mengapa kau tidak mencoba untuk
mendekati mereka lebih dulu." Tantangnya kemudian. "Aku?" "Ya, kau.
Jika kau mendekati mereka, aku yakin mereka tidak akan menjauhimu.
Mereka seperti ini mungkin karena mereka tidak tahu siapa kau." Aku
kembali tertunduk. "Kau benar Gio. Namun, aku tak memiliki cukup
keberanian untuk melakukan hal itu."
Suasana kembali senyap. Sama seperti ketika ada halilitar lalu kembali damai.
****
Mentari, mengapa tadi Gio menanyakan hal itu? Apa dia juga akan
menjauhiku? Sama seperti yang lain.
Mentari, rasanya aku ingin menjerit saat ini juga. Aku lelah.
Aku tenggakkan kepalaku kelangit, duduk ditaman sekolah dengan
menggendong ranselku dan mulai mencoba nyaman dengan posisiku.
Terlihat sinar matahari mulai meredup, akan pergi menuju ke barat.
Aku masih disini mentari. Sendiri.
Akhirnya aku mengalah. Aku memutuskan untuk pulang. Sudah berjam-jam
aku membuat Pak Asep pontang-panting mencariku keseluruh lingkungan
sekolah.
*****
Kubantingkan tubuhku pada kasur empuk berwarna hijau yang memiliki
corak bunga pada setiap sudutnya.

Masih terbayang jelas raut wajah Gio saat menanyakan tentangku ditaman
tadi, sama persis seperti seorang FBI sedang mengintrogasi pelaku
perampokan yang memiliki komplotan besar.
Ya Tuhan, mengapa rasa nyaman itu cepat sekali berlalu. Baru saja aku
merasakan damai yang menghangatkan pagiku walau tanpa mentari. Kini
semua terasa beku kembali.