Nama gue Deria. It's ok, ngga banyak orang yang tau tentang gue.
Tapi gue cukup terkenal dilingkungan gue, heheee. Temen kampus gue sering nyebut gue dengan panggilan Mrs. Erorr. (?) Nahkan, kenapa harus dengan panggilan se-unyu itu? Gak ada panggilan yang lebih jelek dari itu apa? Misalnya, Si-imut, gitu. :) oke lupain !
Sejauh ini gue cukup mengenal diri gue.Dengan kekurangan plus kelebihan yang gue miliki (walaupun gak banyak orang yang tau). Gue jenis orang yang mudah tersinggung sama masalah sepele, dibanding masalah gede sekaligus. ini emang aneh, tapi gue punya alasan buat itu semua. Kalo kita dihadepin sama masalah yang gede, sekalinya posisi kita bener kita bisa langsung ngelawan, beda sama masalah yang kecil (ngomong gue dibelakang misalnya) kita seakan gak punya perlawanan khusus buat itu.
Gue bukan orang yang suka nyimpen dendam kok, so, buat elo-elo yang pernah nyakitin gue, tenangn aja dah gue maafin.
Gue juga jenis orang yang gampang terharu. Masa liat iklan mie instant aja gue nangis (ini aib) oke.
Gue supel, gampang banget nemplok sama lingkungan baru disekeliling gue. sebelumnya gue gak seperti ini. Gue makhluk ter-unyu dulunya. Pas belajar pasti duduk didepan, ulangan gak mau ngasih tau orang lain, keren kan? dulu gue sulit banget adaptasi sama orang, canggung gitu rasanya. aneh deh.
Gue punya 4 sodara. Terlahir sebagai anak bungsu, emp, suka duka sih. :)
Harapan yang selalu gue panjatin sama Tuhan, gue pengen ketemu Ayah. Buat beberapa menit aja, lebih dari itu juga gapapa sih.
Pernah waktu itu ada bapak sama anaknya lewat depan rumah, anak itu meluk bapaknya. Saking gak nahan liat pemandangan itu, gue nangis sampe mereka bener-bener jauh dari pendangan gue. Random.
Kalo gue dikasih kesempatan sama Tuhan buat ketemu Ayah, hal pertama yang akal gue lakuin adalah : Gue mau peluk dia sampe waktu itu abis, gue mau bilang ke dia kalo gue sayang banget sama dia. Gak peduli siapa dan seperti apa dia dimasalalu. Gue juga mau bilang, kalo gue bener-bener butuh dia. Sangat.
Tapi sampai saat ini, itu semua cuma sebatas pengharapan. Memang jelas gak mungkin terwujud, mana mungkin DIA mau hidupin lagi manusia yang udah mati dikehidupan yang sama. Tapi harapan ge gak cuma sebatas itu, gue harap dikehidupan nanti, Ayah yang selama ini ada dibenak gue sama persis seperti Ayah yang bakal gue temui nanti. :)
Selasa, 02 Juli 2013
Selasa, 21 Mei 2013
Makalah
Kegiatan ini memang selalu menyebalkan bagiku. Entah mengapa
aku begitu membencinya. Benar sekali, membuat makalah itu hal yang paling
membosankan. Belum lagi jika kita harus repot untuk mencari buku sumber dan
literatur-literatur lainnya. Sangat memberatkan kepala. Sungguh. Mungkin ini
untuk yang kesekian kalinya aku membeli makalah. Aku malas sekali untuk
mengerjakan tugas ini. Untung saja dikelasku tidak cacat orang pintar, ya,
meski masih bisa dihitung jari. Tapi sampai saat ini pekerjaannya selalu
memuaskan. Nilaiku tak pernah jauh dari huruf A untuk semua makalahku. Paling
kecil B. Aku memang cukup pintar sebenarnya, tapi, ya, itu dia malas sekali.
Aku mulai menyadari, pantas saja sekarang orang pandai mulai tersaingi oleh
orang bodoh yang rajin. Ya, aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak mengulanginya
lagi. Jika dia tidak tahu maksudku.
Sudah sekitar 2 tahun aku menjadi mahasiswa. Tapi jariku
masih saja belum terlatih untuk mengerjakan makalah sendiri. Sulit. Begitu kata
otakku. Aku lebih baik membayar temanku untuk meengerjakannya, meski aku tahu
sering kali dia membodohiku dengan memahalkan harganya. Tapi yasudahlah. Aku
anggap saja aku membayar hasil kerja otaknya.
Kali ini perlajaran Ilmu Budaya Dasar. Tentu saja membuat
makalah yang nantinya harus dipresentasikan ke teman-teman lain. Namun kali ini
berbeda, setiap mahasiswa harus berkelompok masing-masing 2 orang. Kelompok
dibagi berdasarkan nomor urut absen. Absenku nomor 24, aku harus berkelompok
dengan absen nomor 25, seorang pria. Aku lumayan mengenalnya. Bagaimana tidak,
kami 2 tahun bersama, belajar dikelas yang sama, mendengarkan dosen menceracau
bersama. Tapi aku tidak begitu dekat dengannya. Dia pria yang sangat dingin,
seperti sulit untuk beradaptasi dengan sekelilingnya. Setiap hari aku hanya
melihat dia mengotak-atik komputer miliknya, tanpa pernah ikut berbaur dengan
yang lainnya. Kalo dulu orang rajin itu disebut kutu buku, mungkin julukan yang
cocok untuknya adalah kutu laptop.
Tentu saja. Mana mungkin aku harus membayar lagi untuk
makalahku kali ini. Aku berkelompok, kalau membayar temanku lagi mana mungkin.
Apa kata pria es itu nanti. Jadi untuk sementara ini aku harus menghentikan
kebiasaan itu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan makalah itu dengan
tanganku sendiri. Pusing sekali aku memikirkannya. Berat rasanya kepalaku.
“Kapan kita mau mengerjakan tugas makalahnya?” Aku gelagapan
saat menyadari pria es itu ada dihadapanku membuyarkan semua pikiranku yang
sedang melayang-layang memikirkan makalah sialan itu.
“A, secepatnya.” Aku menjawab sekenanya, aku takut dia
menyadari kalau aku gugup. Ini kali pertama aku berbincang-bincang dengannya.
“Baiklah, kita kerjakan sekarang.” Ucapnya begitu santai
sambil meletakkan laptopnya tepat disamping kursiku.
“Apa? Apa memang harus sekarang juga.? Ya ampun, apalagi ini?
Belum selesai aku memikirkan semuanya dia sudah mengajak mengerjakannya
sekarang. Manusia ini gila.
“Tadi kau bilang secepatnya. Kau tak usah khawatir, aku sudah
meminjam beberapa buku sumber dari perpustakaan.” Kurasa mungkin ucapan itu
sedikit menenangkanku. “Kau coba rangkum dari beberapa buku, sebelum aku
mencari sumber lain dari internet.”
“Apa? Aku?”
“Tentu saja kau, memang kau pikir aku sedang bicara dengan
jin.”
Ya tuhan, kali ini jantungku seperti sedang dipukul-pukul
oleh petinju, detaknya cepat sekali. Aku tak tahu makalah membuatku begitu
salah tingkah.
Tak memakan waktu yang begitu lama. Hanya butuh waktu 3 hari
untuk menyelesaikan makalah ini. Bagaimana tidak? Dia kan kutu laptop.
Sebenarnya memang dia yang banyak mengerjakan makalah ini. Hanya saja aku
seringkali dibuat kalang kabut saat dia menyuruhku untuk mengetik. Menyeramkan.
Aku bukan tidak bisa mengetik. Mana mungkin aku tidak bisa? Ayahku memiliki 2 komputer
dirumah, dan 1 laptop milikku sendiri. Tapi berdekatan dengan pria sedingin es
ini yang membuatku begitu gugup.
1 hal lagi yang aku ketahui tentang dirinya. Dia tidak begitu
menyeramkan seperti yang selalu aku katakan. Dia seringkali membelikanku minum
saat aku sedang mengetik. Cukup perhatian. Oh ya, dan belakangan ini kami
sering makan siang bersama. Meski hanya sekedar untuk membahas makalah kami.
Tapi bagiku itu menyenangkan. Dia juga sosok pria yang taat beribadah.
Pernah suatu hari dia keceplosan curhat padaku. Menceritakan
tentang wanita yang dia sukai. Aku hanya bisa berkomentar sekenaku, padahal
sebenarnya aku tidak begitu tertarik. Bagiku pria yang suka curhat itu tidak
jantan. Tapi cepat aku lupakan. Dia juga mungkin sedikit malu karena sudah
menceritakan masalah pribadinya kepada orang yang baru beberapa jam saja dia
kenal.
1 makalah, 2 makalah, 3 makalah. Semakin sering kami
mengerjakan makalah bersama. Sekarang aku juga sudah bisa membuat makalah
sendiri, meski pria es itu seringkali kewalahan menjawab pertanyaanku. Tapi dia
begitu banyak membantu. Hanya temanku mungkin yang rugi, dia jadi kehilangan
kerja sampingannya.
Bersama dengannya begitu menyenangkan. Sekarang dia mulai
berubah, lebih ceria. Dia juga tak absen menyapaku setiap pagi menyuguhkan
senyuman manis yang membuat lubang pada kedua pipinya. Dia juga sering
mengajakku makan siang. Jujur, aku mulai menyukainya.
Aku tak keberatan jika semua dosen menugaskanku membuat
makalah setiap minggu, asal aku bisa bersamanya. Dengan pria es itu.
Mengerjakannya bersama-sama. Meski aku selalu tahu, dia menyukai wanita lain.
Bagiku, menghabiskan waktu untuk mengerjakan makalah dengannya begitu
membahagiakanku.
Senin, 13 Mei 2013
VoiceNote
“Sayang, kamu masih dimana? Aku
sudah 1 jam yang lalu menunggumu dihalte. Disini panas sekali.” Voicenote
berhasil terkirim.
5 menit, 10 menit, 15 menit....
Tidak ada jawaban.
“Sayang, kamu masih meeting ‘yah?
Masih lama tidak? Sayang, kamu akan menjemputku ‘kan?” Lagi-lagi voicenote itu
berhasil terkirim.
“Sayang, kenapa kau tidak
membalas pesanku. Handphone-mu sekarang malah kau matikan. Tolong jawab!” Gadis
itu sudah pada ujung kesabaran. Dia masih terduduk lemas dihalte pemberhentian
bus, sambil tangannya terus saja iseng memutar-mutar handphone-nya berharap ada
pesan masuk untuknya.
Kembali lagi dilirik arlogy
tangannya untuk memastikan waktu tidak berputar begitu cepat.
“Sayang, kau dimana? Aku khawatir
padamu.” Gumamnya pelan. Sambil lagi-lagi dia menggigit bibir tipisnya.
(Suara mobil)
“Sayang.” Dia dengan cepat
mendongakkan kepalanya. Dia hafal benar suara mobil kekasihnya.
“Sayang, kau kemana saja? Apa
meeting-mu sudah selesai?” Tanyanya saat kaca mobilnya dibuka.
“Cepatlah masuk!” perintah
kekasihnya dengan mimik muka yang tidak bersahabat dan tatapan mata yang tajam
tanpa pernah melirik ke arah gadis itu.
Gadis itu mengangguk pelan dan
segera masuk kemobil. Masih dengan wajah yang berseri. Dia selalu tersenyum.
Bodoh sekali jika ada seseorang yang berani merusak ekspresi wajahnya dengan
tidak begitu mengindahkan kehadirannya.
“Sayang, bagaimana meeting-mu
tadi. Oh ya sayang, kenapa tadi kau mematikan teleponmu. Aku khawatir padamu.”
Wajahnya berubah menjadi sedikit redup mengingat penantiannya 2 jam yang lalu
menunggu kehadirannya.
“Aku baik-baik saja.” Masih
dengan mimik yang menyebalkan jika dilihat.
“Baguslah kalau begitu.” Dia
meluruskan pandangannya merasa cukup dengan jawaban sinis dari kekasihnya.
Mereka terdiam lama, sambil terus menikmati lagu yang diputar oleh salahsatu
stasiun radio.
***
Kringgg (suara telepon)
Samar-samar terdengar suara
wanita dari ujung telepon.
“Sayang, aku tahu kau pasti belum
bangun. Bangunlah! Kau bilang hari ini kau akan bertemu dengan client besar. Bagaimana
jika kau terlambat menemuinya? Kau tidak mau itu terjadi bukan? Cepatlah
bangun!”
“Ya. Ya. Aku tahu.”
“Baiklah. Aku harap setelah
kuputuskan telepon ini kau tidak tidur lagi. Jika jam setengah tujuh kurang kau
belum menelponku, maka aku akan datang kerumahmu. Have a nice day sayang.
Muaahhh.” Panggilan terputus.
“Mengapa wanita ditakdirkan
begitu cerewet.” Lelaki 25 tahun itu menggeram pelan.
***
06.55
“Kau tak usah khawatir aku tidak
tidur lagi. Aku sudah berangkat sebentar lagi sampai kantor. Kau jangan dulu
menggangguku, kau tahu ‘kan hari ini aku akan bertemu dengan client besar, aku
tidak mau terganggu karena kau merecokkanku. Dan nanti sore seperti biasa akan
ku jemput dihalte.” Voicenote terkirim.
***
Seseorang kadang tak pernah tahu,
dalam suatu hubungan sedikit sapaan sangat berarti. Ya, tidak tahu. Sebelum
mereka merasakannya.
Hubungan mereka sudah berjalan
sekitar 4 bulan lamanya. Cukup lama. Namun masih dalam suasana mesra-mesranya,
seharusnya. 4 bulan lalu gadis itu memutuskan untuk menyatakan perasaannya
kepada lelaki yang begitu dia cintai. Nekad? Memang. Tapi namanya perasaan, apa
mau dikata sekeras apapun dihindari akhirnya akan sakit juga. Ya, 4 bulan waktu
yang terlalu singkat untuk saling mengenal satu sama lain. Bagi lelaki itu
tepatnya, mungkin untuknya butuh 1000 tahun untuk mampu memahami kekasihnya,
perempuan yang 4 bulan belakangan ini menemaninya, memenuhi pesan diinbox
handphone-nya dengan pesan-pesan cintanya, perempuan yang mendadak menjadi
penghuni halte bus pada pukul 16.00 sampai 18.00. itulah cinta, memang
menyakitkan. Semua orang mengatakan hal itu. Namun mereka tak akan pernah bisa
mengukur indahnya cinta saat bersemi. Jadi kami rasa, semua keputusan memang
harus ada konsekuensinya.
Menunggu itu sangat membosankan.
Namun sebagian orang mengatakan menunggu itu lebih baik karena disaat dia
menunggu ada hal yang bisa dia harapkan, buruk ketika seseorang sama sekali
tidak ada yang bisa dia tunggu. Tapi tetap saja kenyataan tak seperti itu.
Mengatakan nasihat kepada oranglain serasa begitu mudah dibanding saat kita
mengalaminya sendiri. Namanya juga hidup.
***
Gadis itu sudah menunggu. Tepat
pukul 16.00 dia sudah sampai di halte, berharap kekasihnya bisa menjemput tanpa
harus membuatnya menunggu begitu lama. Seperti kemarin. Seperti hari kemarinnya
lagi. Seperti hari kemarinnya lagi. Seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti 4
bulan belakangan ini.
Cinta. Jika terasa indah mengapa
harus ada sakit. Jika sempurna mengapa selalu ada yang terasa kurang. Jika
membawa bahagia mengapa begitu menyakitkan. Jika terasa manis mengapa kadang
terasa pahit. Dan jika manusia tahu demikian mengapa masih mau berhubungan
dengan cinta. Bukankah cinta itu menyakitkan, bukankah cinta itu tak sempurna,
bukanlah cinta itu terasa pahit. Bukankah cinta itu meninggalkan luka?
Seseorang tahu cinta membawa
luka, namun masih banyak orang yang mau berlari dijalannya. Bukan karena cinta
yang sempurna, tapi dia mengerti saat dia bahagia karena cinta. Berharga. Dan
dapat bergambar.
Gadis itu berdiam diri. Dia ingat
pesan kekasihnya untuk tidak menganggu kerjanya. Dia menghargai apapun yang
kekasihnya lakukan. Pekerjaan, kebiasaannya, kepribadiannya terlebih
perasaannya. Raut wajahnya hari ini tak jauh berbeda dengan raut wajah hari
sebelum-sebelumnya, sama seperti 4 bulan belakangan ini. Cemas. Itu yang selalu
dia rasakan. Salahkah? Tidak. Lumrah bagi seorang perempuan mengkhawatirkan
orang yang dicintainya. Dan lelaki itu? Gadis itu tak pernah tahu apa yang
sedang dilakukan kekasihnya. Yang dia tahu selama ini adalah dia menunggu
dihalte menunggu kedatangannya, tak boleh bertanya mengenai pekerjaannya
kecuali pria itu sendiri yang mengatakannya. Hambar. Ya,bahkan mungkin pernah
terlintas tak pernah ada cinta untuknya.
***
17.30
“Kau hari ini lebih cepat 30
menit dari sebelumnya.” Gadis cantik itu tersenyum kembali. “Hari ini kau
terlihat bahagia sekali, sayang.” Ucapnya kembali untuk memulai perbincangan.
“Tenderku hari ini goal.”
Jawabnya bersemangat.
“Oh ya.” Jawab gadis itu dengan
tersenyum, membuat seolah-olah semuanya menarik. Itu bukan kabar baru yang dia
ketahui. “Aku tahu kau pasti bisa melakukannya, sayang.” Kekasihnya pria yang
pandai, bukan kali pertama dia mendapatkan tender-tender hebat seperti ini.
Benar sekali. Ini berbeda, tak seperti yang sebelum-sebelumnya. Tak seperti
minggu lalu dia mendapatkan tender yang lebih besar daripada ini.
Tadi siang, saat istirahat makan
siang pria itu bertemu dengan teman lamanya. Wanita. Cantik. Jelas pertemuan
yang istimewa, wanita itu adalah orang yang pernah dia sukai dulu. Dulu
(Sebelum gadis itu menyatakan perasaannya). Dan mereka cukup lama
berbincang-bincang. Bernostalgia lebih tepatnya. Jelas sudah apa yang
membuatnya bahagia hari ini.
***
“Sayang, sebelum tidur jangan
lupa cuci kaki sama tangan. Selamat tidur. Mimpi indah.” Itu bukan voicenote
yang pertama kali yang berhasil dia kirim. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan
voicenote yang dia kirimkan pada kekasihnya. Gadis itu berharap semoga ratusan
pesannya tidak terbang secara sia-sia. Semoga.
***
24 Juni 2013
Sayang, aku ingin mengatakan hal
jujur padamu. Mungkin kau akan marah,
karena ini akan sedikit
menyakitkan. Bagiku. Aku tak tahu apa
pendapatmu nanti.
Sungguh. Tiga minggu belakangan
ini kau berbeda. Kau berubah. Aku
hampir tidak mengenalimu. Aku
tahu, kau sibuk dengan pekerjaanmu. Aku
mengerti. Tapi sayang, 4bulan
lamanya aku menunggu keajaiban itu
datang, nyatanya semua terasa
telah pupus. Mungkin aku sendiri yang
terlalu naif.
Sayang, maaf. Aku tahu, aku tidak
pernah membuatmu merasa nyaman
disampingku. Ya, aku tahu.
Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Sekeras
apapun kau akan menolak
pernyataanku. Tapi sayang, perlu kau tahu. Aku
telah melakukan hal terbodoh
sekalipun, itu bahkan hanya akan membuat
diriku tampak sangat bodoh
bagimu.
Sayang, aku mencintaimu. Bukan
mencintai duniamu. Dunia bisa kapan
saja berpihak padaku, tapi kau,
kau sulit. Itu saja yang aku tahu
tentangmu.
Akhirnya aku harus katakan.
Mengapa dulu kau tidak membiarkan aku
pergi, bahkan jika seperti itu
mungkin saat ini aku sudah melupakanmu.
Menghilang jauh dari jangkauan
panca inderamu.
Sayang, bukan aku tak sabar
dengan semua ini.
2 hari lalu aku menemukan sepucuk
surat tergeletak dimeja makanmu.
Amplop surat itu jelas tertuju
untukmu, sempurna dengan sedikit
sobekan dibagian atas amplop itu,
aku yakin kau telah membacanya.
Dengan rasa penasaranku aku
lancang membuka surat itu. Disana terdapat
tulisan yang sangat rapi.
Tersusun dari kata-kata dan kalimat-kalimat
yang terukir indah. Lengkap
dengan tanda tangan sang pengirim surat
diujung paragraf dan, tanda
lipstik bibir berbentuk sempurna.
Aku sampai gila memikirkannya.
Menangis sepanjang hari, aku bahkan
tidak tahu apa yang harus aku
lakukan.
Dengan segala pertimbangan yang
salah besar sekaligus menyesakkan
dadaku akhirnya aku memutuskan
untuk pertama kali menuliskan semua
perasaanku padamu. Sama seperti
gadis pemilik tanda lipstik bibir itu.
Kau salah. Aku tidak cemburu. Aku
tidak cemburu atas kejadian itu. Ini
bukan kali pertama aku mendapati
pesan-pesan mesra untukmu. Bagaimana
tidak? Kau memang tampan.
Siapapun orangnya pasti akan tergila-gila
padamu.
Aku hanya mulai berpikir, betapa
licik aku berada pada posisi yang
bahkan tak pernah membuatmu
merasa baik bersamaku.
Kau ingat? Hubungan kita bahkan
diwarnai dengan
pertengkaran-pertengkaran
disetiap harinya.
Sayang, aku mencintaimu. Aku
mencintaimu. Entahlah. Entah berapa
banyak lagi aku tuliskan kalimat
itu diatas kertas putih ini.
Kita masih punya banyak waktu
untuk memperbaiki semuanya. Ya,
memperbaiki hari-harimu yang
gelap karenaku.
Akan aku pastikan, tidak akan ada
lagi panggilan tak penting dipagi
hari yang membangunkan tidurmu,
tidak akan ada lagi alarm yang sengaja
aku sett untuk mengingatkanmu
makan siang, tidak akan ada lagi
voicenote bodoh yang akan mengganggu
meetingmu, tidak akan ada lagi
teriakan dari voicenoteku yang
sedang menunggumu, tidak akan ada lagi
pesan singkat yang aku kirimkan
untuk mengantarkan tidurmu.
Carilah! Carilah seseorang yang
tidak akan melakukan hal bodoh
sepertiku. Mungkin gadis bibir
lipstik itu?
Aku juga akan mencari seseorang
yang tidak akan pernah merasa
keberatan dengan kehadiranku.
Seseorang yang bisa mengerti perasaanku
tanpa perlu aku ungkapkan.
Aku akan terus mendengar kabar
bahagia darimu. Kau berhak mendapatkan
kebahagiaanmu sendiri, tanpa
harus terhalang olehku.
Tertanda,
Linda
***
Begitulah isi surat yang pertama
dan mungkin akan menjadi terakhir
kalinya yang dia buat. Tertulis
rapi, tak kalah bagusnya dengan surat
gadis bibir lipstik itu. Hanya
bedanya, ada warna pena yang pudar pada
ujung kalimat dalam surat itu.
Ya, gadis itu menangis. Menghabiskan
tenaga yang sengaja ia sisakan
diakhir hari ini.
***
Saat itu semua terjadi, dunia
terasa terhenti. Gadis voicenote itu
tidak akan lagi merasa cemas
menunggu seseorang dihalte seperti yang
sering dia lakukan.
Kalian tahu? Terkadang kita
merindukan sesuatu yang terbiasa hadir
disekeliling kita, bukan hanya
karena kita mencintainya. Namun
penyesalan itu memang selalu
datang terlambat. Dan bagi sebagian
orang, kesempatan kedua itu hanya
sebagai wujud dari kemunafikan.
Minggu, 28 April 2013
KEMBALIIN NYOKAP GUE!!
Gue Destira. Umur gue saat ini masih 19 tahun. Terbilang udah dewasa, tapi nyatanya mungkin ngga. Gue masih suka nyetel musik keras-keras waktu pikiran gue lagi stres, masih suka ngamuk kalo lagi bete dibawelin.
Sodara gue ada 3. Satu
dari nyokap dan dua dari bokap gue. Dua cewek dan 1 cowok. Bokap gue udah
meninggal sejak, gue sendiri gak tau persis kapan bokap gue meninggal. Gak
terlintas dibenak gue buat tanya soal itu ke nyokap gue.
Nyokap
gue sosok perempuan yang tanggung. (?) gue gak inget kapan terakhir kali gue
ngerasa kalo dia itu perempuan tangguh. Sejak bokap gue meninggal nyokap gue
nikah lagi sama seorang laki-laki yang gak pernah gue kenal. Gue tau itu bokap
tiri gue waktu mereka udah nikah. Picik.
Gue ngerasa gak punya
sesuatu yang bisa gue banggain dari berantakannya hidup gue. Sampe segede ini,
gue tetep masih ngerasa gak punya siapa-siapa. Disaat gue punya banyak masalah,
yang bisa gue lakuin Cuma nutup muka gue sampe gak ada satupun orang yang tau
kalo gue lagi nangis. Gue gak tau siapa yang egois dalam peristiwa ini atau
mungkin juga karena gue terlalu menutup diri gue.
Teknologi
didunia semakin canggih, gue juga gak munafik kalo gue suka main-main disosial
media. Mana mungkin gue harus ketinggalan dimasa sekarang yang serba modern.
Disini gue ngerasa punya banyak temen, walaupun pada dasarnya gue gak begitu
banyak terbuka soal hidup gue.
Disini
masalahnya, bukan Cuma gue yang terjebak dan terjerat dalam dunia ini. Nyokap
gue. Dia orang baru didunia ini, dia juga bakal banyak ketemu orang baru. Dia
gak bisa ngendaliin dirinya. Sampe akhirnya dia terjebak sama cinta dunia maya.
Cinta
itu buta. Dan akhirnya gue percaya.
Dia
berubah. Drastis. Dia udah gak peduli lagi keadaan gue, dunia gue, bahkan
perasaan gue. Terkadang, gue ngerasa bersalah. Gue takut apa yang dia bayangin
soal gue terlalu banyak menuntut dia. Rumah tangga, jangan ditanya. Semua
berantakan. Tak terkecuali hidup gue. Dia bahkan sampe hati bilang kalo gue
berubah. Gue jadi pengen ketawa sekenceng-kencengnya. Sebenarnya yang
menghindar dia atau gue?
Gue
ngerasa kehilangan sosok nyokap yang selalu gue rinduin, sosok nyokap yang
harusnya ada didepan gue waktu gue pegang Qur’an. Entah. Mungkin karena gue
yang terlalu berkhayal. Gue rasa, gue gak pernah menuntut apa-apa sama dia. Gue
gak minta dia selalu ada buat gue, karena pada kenyataannya gue masih bisa
dapetin apa yang gue mau. Gue juga gak minta dia jadi sempurna kaya apa yang
selalu gue liat disinetron yang selalu ngegambarin sosok ibu yang sempurna. Ngga.
Bahkan orang terbaikpun pasti punya kekurangan. Gue Cuma mau dia kembali. Kaya
nyokap yang sempet gue kenal dulu. Apa itu semua berlebihan?
Gue ngerasa hidup gue
udah berakhir. Bahkan sejak gue masih berupa janin. Ironis. Memang. Tapi
akhirnya gue sadar. Tuhan Cuma mau bikin semuanya sempurna sampe waktunya tiba.
Gue percaya kalo suatu saat nanti gue bisa jadi apa yang gue mau. Kasih sayang
itu semua orang bisa kasih. Walaupun gue gak bisa dapetin itu sepenuhnya dari
nyokap gue, gue masih tetep ngerasa nyaman sama kehidupan gue.Terimakasih. Seengganya gue bisa belajar untuk jadi orang tua yang baik buat anak-anak gue nanti.
Sabtu, 27 April 2013
Tetap Seperti Ini
Anjas,
pria gila yang aku temui dua hari yang lalu. Baiklah upakan. Dia tidak
keberatan dengan panggilan itu. Bahkan dia seringkali tertawa jika kalimat itu
terlontar dari mulutku.
Aku
pikir mungkin dia satu-satunya pria tergila yang pernah aku temui. Namun, jika
aku perlu mengatakan hal terjujur aku tertarik padanya sejak pertama kali dia
mengajakku berbincang.
“Hai,
apa kau tak tahu? Aku memperhatikanmu sejak tadi. Apa kau tak menyukaiku?”
tanya seseorang tiba-tiba. Aku sadar akan keberadaannya disampingku sejak tadi.
Aku juga tahu kalau dia seringkali melirik kearahku, namun kukira dia sedang
melihat seseorang yang akan keluar dari ruang facial.
“Apa
kau bodoh? Kau menanyakan ‘apa aku menyukaimu’ seperti kau sedang bertanya
‘sudah makan atau belum’.”
“Jadi
maksudmu kau tak menyukaiku? Lihat aku! Aku tampan dan, menarik. Semua wanita
tergila-gila padaku.”
“mungkin
karena mereka wanita bodoh yang rela membuang-buang waktunya hanya untuk
menggilaimu.” Ujarku tanpa menunggu jawaban darinya.
“Hai
gadis! Jika sikapmu seperti ini tidak akan ada pria yang menyukaimu.” Ucapnya
kemudian dengan lantang saat aku beranjak menjauh. Dasar tak tahu malu.
“Oya?
Jika tidak akan ada yang menyukaiku lalu mengapa ada seorang pria yang mau
meneriakiku dan mengatakan bahwa tidak akan ada yang menyukaiku. Apakah
sebenarnya dia menyukaiku” jawabku puas sambil tetap diposisi berdiriku.
“Hei
gadis lihat saja! Aku berjanji akan membuatmu mencintaiku dan menjadikanmu
wanita bodoh seperti yang kau katakan!” teriaknya lagi, tak ingin kalah.
“Sunggih?
Coba saja!” aku berlalu tanpa melihat kearahnya lagi. Tanpa sadar aku
mengembangkan senyum dari kedua sudut bibirku.
Entahlah!
Tak tahu makhluk apa yang baru saja aku jumpai. Dia seperti meteor yang
bersinar dikejauhan namun tega menghamtam bumi dengan panasnya hingga
meninggalkan bercak kasar.
“Hai
kita bertemu lagi. Apa kau tidak berpikir bahwa kita ini jodoh.” Senyuman bodoh
itu lagi-lagi membuatku muak. Rasanya ingin segera aku keluarkan sarapan yang
baru setengah jam lalu aku masukan kedalam perutku.
“Jika
pertemuan kebetulan itu menandakan jodoh, mungkin aku sudah menikah dengan
guruku sejak lama.”
“Wow,
kurasa itu sangat sadis.” Jawabannya sambil mengernyitkan keningnya. Baru saja
kulangkahkan kakiku satu langkah, dia segera menghalangi jalanku.
“Kau
tak ingin berbincang-bincang denganku?”
“Untuk
apa? Membuat diriku tampak bodoh?” jawaban yang terlontar dari mulutku memang
tak berperasaan. Aku segera memutarkan badanku untuk mencari jalan lain.
“Aku
akan memastikan kau akan kembali mencariku.” Itu kalimat yang sangat kubenci.
Ucapan itu membuatku lagi-lagi menghentikan langkahku. “Memangnya kau siapa?
Sopir angkot?” ledekku. Akhirnya kepulanganku kali ini berhasil.
Kubantingkan
tubuhku diatas kasur empuk setelah setengah jam aku melewati jalanan pengap
penuh polusi knalpot yang pemiliknya tidak bertanggungjawab. Tak lama kudengar
ponselku berdering menyanyikan lagu favoriteku. Aku terdiam sejenak saat
melihat panggilan masuk diponselku mengingat nomor siapa yang mencoba untuk
menghubungiku. Baiklah. Aku menyerah, aku tdak mengenal nomor ini. Aku biarkan
pangilan itu terhenti tanpaku angkat.
Terdengar
lagi. Baik. Mungkin ini penting.
“Dengan
Shyra?”
“Ya
benar, maaf dengan siapa ini?”
“Pria
bodoh yang tampan dan menarik.”
“Kau.”
Expresi kaget sekaligus bingung sangat nampak diwajahku. “Darimana kau dapatkan
nomor ponselku?”
“Aku
sudah pernah mengatakan bahwa aku bisa memastikan kau akan mencariku.”
Aku
bisa menebak dia pasti sedang terseyum puas sambil menumpangkan kakinya.
“Punya
kepentingan apa aku sampai harus mencarimu. Dasar bodoh!”
“Mungkin
sekarang itu akan berubah.” Terdengar dia terkekeh, semakin benci aku
mendengarnya.
“Darimana
kau dapatkan nomorku?” kuulangi lagi pertanyaanku.
“Sepertinya
seseorang menjatuhkan dompetnya, aku tidak tahu apa dia sengaja atau tidak.”
Sontak aku kaget dengan penjelasannya, aku baru menyadari bahwa dompetku tak
ada ditas.
“Dimana
kau sekarang?” dengan geram aku menanyakan keberadaannya,
“Diujung
ponselmu.” Lagi lagi dia terkekeh kegirangan.
“Aku
bisa melaporkanmu kepolisi dengan tuduhan kau mencuri jika kau tidak
memberitahu keberadaanmu. Aku tidak main-main.” Aku rasa kali ini dia tidak
bisa dibawa besabar.
“Aku
ada ditempat terakhir kita bertemu.” Oh ya ampun aku sungguh benci mendengar
suaranya.
Segera
kuputuskan panggilannya dan memutuskan untuk segera menyelesaikan urusan ini.
Kecerobohanku. Ya, aku tahu. Sudahlah tak perlu dibahas.
“Alya,
apa kau bisa membantuku? Aku sangat membutuhkanmu saat ini. Tolong temui aku
dihalte 15.” Begitulah voicenote yang aku kirimkan kepada Alya sahabatku. Aku
yakin dia pasti bisa menyelesaikan persoalan ini.
Tak
berselang lama saat aku mengirimkan voicenote itu Alya sudah ada dihadapanku.
“Aku butuh bantuanmu. Aku tidak mungkin menghampirinya. Kau mau ‘kan? Aku
mohon!”
“Kau
memang sangat menyusahkan. Bagaimana mungkin barang sepenting itu kau
jatuhkan.” Gerutu Alya, dia memang selalu seperti ini jika kumintai bantuan.
Namun semuanya selalu dilakukannya. Sudahlah tak perlu kupermasalahkan.
“Dimana
aku bisa menemui pria itu?” Oh rasanya itu selalu menjadi kata-kata paling
indah yang aku dengar. “Dia ada didalam sana, aku yakin dia pasti sedang
menungguku.” Tak menunggu ba-bi-bu lagi, alya bergegas pergi meninggalkan Shyra
diluar halte.
Sesampainya
dihalte Alya celingukan mencari sosok pria yang tadi Shyra ceritakan. Pria
bertubuh tinggi, bermuka mesum dan akan tampak begitu menyebalkan. Huh,
bagaimana tidak dia mengatakan hal itu, dia ‘kan membencinya. Mungkin saja pria
itu benar kalau dia itu tampan dan sangat menarik. Baiklah, lupakan. Alya
mengerti seperti apa sahabatnya, dia selalu menceracau jika sedang tak suka
dengan oranglain.
“Alya”
panggilan itu memang sangat mengagetkan, membuyarkan konsentrasi Alya yang
sedang fokus mencari sosok pria itu. “Sedang apa kau disini?” Alya sedikit
mengernyitkan dahinya mengingat siapa orang yang sedang mengajaknya berbincang.
“Anjas!” serunya setelah ingatannya pulih, maklum mereka tidak bertemu sudah
sekitar 2 tahun lalu, dan anjas memang banyak mengalami perubahan. Ya, dia
tampak begitu memesona. “Aku sedang mencari seseorang, kau sendiri?” Lanjutku
menjawab pertanyaan Anjas yang tertunda karena memulihkan ingatan tadi. “Aku
juga sedang menunggu seseorang.” “Perempuan mana lagi yang sedang kau tunggu?”
ledekku. Aku tahu jelas seperti apa Anjas, dia memang playboy. “Hei, saring
kata-katamu itu, kali ini aku menunggu perempuan baik-baik.” Jawabnya sambil
tertawa kegirangan seakan mengerti maksud dari pertanyaanku. “Kau sedang
mencari siapa? Apa teman kencan butamu?” bibirnya menyeringai tanda berbalik
meledekku. “Tentu saja tidak. Aku sedang mencari seorang pria yang menemukan
dompet milik temanku, tadi dia menjatuhkannya.” “Shyra!” aku memiringkan
kepalaku sambil melihat wajahnya. “Kau mengenalnya?” aku segera teringat, lalu
melihat tangannya. Tentu saja dia sedang menggenggam dompet milik Shyra. “Kau
memang benar-benar menyebalkan. Kembalikan dompet itu.” Aku memaksanya. Namun
dia malah menyembunyikan tangannya. “Ayolah Alya, sebenarnya kau akan membuat
semuanya begitu mudah.” Dia memohon. Sama persis ketika dia memintaku untuk
dijodohkan pada Maya anak pemilik yayasan yang begitu populer. “Tidak!
Kembalikan dompet itu.” “Alya.” “Anjas, jika
aku bilang tidak ya tidak. Kau mengerti? Shyra sudah memiliki kekasih,
kalaupun tidak aku tidak akan mengumpankannya kepadamu. Dia perempuan
baik-baik. Kau dengar itu?!” aku segera merampas dompet Shyra yang sejak tadi
digenggamnya. Anjas selalu saja seperti itu.
*****
“Kau
mendapatkannya?” tatapku pada Alya, namun dia tak segera memberikan jawaban. Mukanya
ditekuk dalam-dalam seakan-akan ada selalu yang mengganggunya. “Alya, apa kau
baik-baik saja?”
“Aku
mendapatkannya, aku baik-baik saja kau tak perlu khawatir.” Alya tersenyum, dia
memang selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Sudahlah, mungkin dia sedikit
lelah.
“Aku
akan mentraktirmu, kau mau?” Alya hanya mengangguk tanda menyetujui ajakanku. Aku
mencoba tersenyum walau pada dasarnya aku bingung dengan sikap Alya.
“Aku
minta kau tidak mendekati pria itu.” Ucap Alya tiba-tiba, setelah kami tiba disebuah
restoran. “Apa sejak tadi kau memikirkan hal ini? Memikirkanku?” Aku tersenyum
lagi, pada dasarnya aku memang harus berhati-hati tapi aku senang Alya
perhatian padaku. Dia memang selalu bisa diandalkan. “Kau tenang saja, aku
sudah bisa menebak seperti apa porsi pria seperti dia. Tapi terimakasih banyak
kau sudah peduli padaku” “Hei, apa maksudmu?” “Maksudku kau memang selalu
peduli.” Aku menyeringai manja padanya.
*****
Aku
tak tahu ini dikategorikan hal apa. Yang jelas aku pikir ini kecerobohan. Anjas,
pria yang namanya baru belakangan ini aku tahu dia terus menghubungiku. Meski
pada awalnya dia banyak berbual. Entahlah, aku merasa tertarik padanya. Padahal
Alya sudah memperingatkanku, aku aku juga sudah tahu pria seperti apa Anjas
ini. Tapi, ..... Sudalah mungkin kali ini aku tidak bisa lagi mengelak. Apa
yang harus aku lakukan agar rasa ini bisa pupus kembali. Aku tak keberatan jika
harus kembali membencinya. Apa juga yang harus aku lakukan terhadap Ryan, pria
yang telah 2tahun menemaniku. Aku tahu, kami long distance. Tapi apa harus aku
melakukan hal ini terhadap Ryan. Perempuan macam apa aku ini. Ya Tuhan, tolong
aku.
Dan
yang baru aku ketahui bahwa Anjas tak seperti apa yang aku judge dulu. Dia
menyenangkan, perhatian terlebih dia selalu ada untukku jika dibandingkan
dengan Ryan. Bagaimana tidak? Ryan memang jauh, bagaimana mungkin dia akan
selalu ada untukku. Tapi pantaskah? Salahkah perasaan ini?
*****
Semuanya
terjadi begitu saja. Begitupun perasaan ini. Aku tahu Anjas menyukaiku dia
berulang kali mengatakan itu. Aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa aku
memiliki Ryan tapi yang dia katakan “Dia ‘kan jauh, manamungkin dia tahu?”
masih terdengar bagaimana saat dia mengatakan itu sambil terkekeh namun matanya
mmancarkan keputusasaan.
Salahku,
aku juga sudah mengatakan padanya bahwa aku juga menyukainya. Namun, aku rasa
hubungan ini hanya akan sebatas ini. Aku tegaskan, aku menyukainya. Baiklah,
aku juga mungkin sudah mulai mencintainya. Aku suka cara dia memperlakukanku
bagai putri. Menjemput dan mengantarkanku kuliah. Aku suka dia yang selalu ada
untukku, padahal sebenarnya dia juga memiliki kesibukannya sendiri. Aku juga
suka dia yang dewasa. Mungkin Anjas playboy, aku tahu. Sama seperti saat Alya
menceritakannya tentang Anjas padaku. Namun saat bersamaku, aku tak merasakan
hal itu. Apa ini yang dinamakan cinta buta? Atau mungkin aku yang terlalu
menutup mata. Ryan, maafkan aku. Hanya kalimat itu yang selalu aku ucapkan
dalam hatiku.
Langganan:
Postingan (Atom)