“Aku
bukan orang miskin ! Tuhan Cuma ‘gak kasih aku rezeki yang banyak saja.” “Dasar
bodoh ! sama saja, berarti kamu miskin.” Mereka selalu menertawakanku, mengejek
keadaanku. memang dunia saat ini hanya untuk orang kaya ‘yah? . jika benar
demikian, betapa tak adilnya dunia ini untukku.
Didunia
ini kita memang tak ditakdirkan menjadi orang yang memiliki kekayaan yang
berlimpah, selain itu ayah ibuku diutus oleh Tuhan untuk penitipan amanat yang
aku pikir berlebihan.
Aku
anak ke-9 dari sembilan bersaudara. Hanya tinggal menambah 2 lagi kami sudah
bisa menjadi tim sepak bola.
Kakakku
yang pertama bernama Aditya Pratama, kakakku yang satu ini sangat bijak. Dia
selalu menjadi penengah diantara semua masalah yang selalu terjadi diantara
kita. Dia sudah memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan. Dengan pendidikan
lulusan S1 teknologi tak sulit baginya untuk memiliki pekerjaan. Sehingga
terkadang beban ayah selalu dia ringankan. Hebat.
Kakakku
yang kedua bernama Beni Anggara, dia sangat sopan sekali. Dia begitu lembut
sehingga para ibu-ibu begitu menyukainya. Malah sempat ada seorang ibu yang
datang kerumah untuk melamar kak Beni untuk anaknya. Hihihi. Konyol. Tapi
sekarang dia sudah menikah dengan seorang gadis yang sangat dia cintai.
Sebentar lagi juga punya adik bayi.
Cici
Ana Maya kakakku yang ketiga. Dia begitu cerewet, dia selalu menceramahi semua
yang kita lakukan. Sampai-sampai, kekasih yang sering dibawa kami kerumah
selalu tak lepas dari omelannya. Kak cici ditinggal meninggal oleh suaminya 2
tahun lalu. Dia begitu terpukul. Ayah sudah menyarankan untuk cepat mencari
penggantinya, hanya saja kak cici mengatakan dia belum memiliki pengganti untuk
menggantikan posisi suaminya. Kasihan.
Yang
keempat Desi Setiawati. Kakakku yang satu ini Religius. Dia yang sering
mengajariku ilmu-ilmu agama. Dia senang sekali membaca sehingga aku sering
sekali menceritakan pengetahuan yang dia dapat.
Kakakku
yang satu ini TOMBOY, dia bernama Eva Nisrina. Penampilannya layak seorang
laki-laki bedanya hanya saja dia memiliki rambut yang panjang. Setiap sore dia
sudah mangkal di pos ronda menunggu teman-teman lelakinya plus penampilan ala
preman dengan celana robek dibagian lututnya. Ayah, ibu juga kak Desi selalu
memperingatinya. Memang menurut , hanya Cuma berlaku untuk satu hari saja. Dia
bilang “Aku tomboy ayah ibu tak suka,
kalau aku berjilbab teman-teman selalu menertawaiku” ujarnya dengan muka
tertunduk dan mengkerut. Lucu sekali.
Kakakku
yang satu ini ganteng sekali. Kalau aku bukan adiknya aku juga menyukainya.
Namanya Farel Ferdinan. Selain wajahnya yang tampan dia juga type setia. Wah,
lelaki idaman.
Lain
kak Farel lain kak Ginanjar. Kalau dilihat dari ketampanan jelas baik kak
Farel. Namun entah mengapa para wanita lebih tertarik kepada kak Anjar. Hal ini
membuatnya menjadi sering bergunta-ganti perempuan. Aku hampir pusing
memikirkan siapa pacar yang sesungguhnya. Setiap ditanya siapa, dia selalu
menjawab “hanya teman”. Ko’ temannya perempuan semua?. Namun ini
menguntungkanku, aku menjadi sering berjalan-jalan dan ditraktir oleh perempuan
yang dia bilang “hanya teman”.
Kakakku
yang terakhir ini sangat nakal, namanya Hasan Permana. Ibu sering sekali
menjewer kupingnya. Dia juga tak jarang menjailiku. Saat itu pernah dia
menempelkan kunyahan permen karet dirambutku, sampai-sampai ibu harus
menggunting sebagian rambutku. Aku kesal sekali. Namun pernah juga ketika aku
dipalak oleh anak-anak nakal disekolah, dia menolongku. Sampai-sampai mukanya
bonyok. Aku jadi terharu.
Namaku
sendiri adalah Indah Azkya Putri. Putri bontot dari pasangan Bapak Andi Permana
dan Ibu Lina Nurani. Aku masih menduduki bangku SMP kelas VIII. Aku bukan
sekolah disekolah favorit, karena aku tahu biayanya begitu besar. Aku mengerti
akan keadaan kami. Aku juga tak berhak memaksakan apa yang aku inginkan. Ayah
selalu bilang “sekolah didekat rumah biaya tidak akan terlalu mencekik”. Apa
boleh buat, lagipula aku merasa begitu kasihan kepada ayah dan ibu. Akupun tak
jarang membantu mereka menjajakan dagangan ke setiap rumah, untuk mencari
keuntung satu peser dua peser. Aku tak menyalahkan mereka dengan semua
keterbatasan materi yang kami alami. Sejauh ini tak pernah ada anak ayah dan
ibu yang mengeluh. Mereka menikmatinya. Malah kakakku yang pertama mendapatkan
beasiswa untuk prestasinya.
Sebentar
lagi kenaikan kelas. Teman-temanku sudah mulai memfokuskan pikirannya kepada
pelajaran. Mereka sudah berisik menentukan sekolah mana yang akan mereka masuki
ditingkat SMA nanti. Aku. Aku memang memiliki impian tentang ini. Aku ingin
masuk sekolah negeri, yang ada dipusat perkotaan itu. Tetanggaku ada yang masuk
sekolah itu. Kakak baik hati yang tampan, dia begitu ramah. Aku sering
menanyakan tentang sekolahnya, prestasi-prestasinya, belum lagi fasilitas yang
ada. Benar-benar sekolah impian. Aku ingin memasukinya.
Namun secepat
itu pula aku terbangun dari semua mimpi-mimpiku yang konyol. Aku sadar betul
siapa aku.
*****
Aku
naik kelas. Aku senang sekali. Memang tak mendapat nilai yang lebih, namun
hanya PAS. Kak hasan selalu mengejek “masa nilainya hanya rata-rata terus. Setiap
tahun tak ada kemajuan dengan otakmu.” Aku tak memperdulikannya. Karena memang
kenyataannya memang seperti itu. Biarkan tangan ajaib ibu saja yang bicara.
Hihihi.
Suatu
hari pelajaran BP. Palajaran ini selalu mengkait dengan perasaan. Minggu ini
pelajaran untuk menentukan pilihan sekolah mana yang ingin dimasuki dan jurusan
apa yang akan diambil. Sampai setengah pelajaran berlangsung, pulpenku hanya
bergerak-gerak tak jelas. Kertas yang ada dihadapanku masih bersih, aku tak
tahu harus menuliskan apa. “Kok’ kertasnya masih kosong” tanya Bu Mina
tiba-tiba, membuyarkan semua lamunanku. Aku meliriknya sejenak. Masih tetap
dengan posisi semula, menopang dagu dan mengetuk-ngetukkan pulpenku ke atas
meja. Aku tak mungkin menuliskan bahwa aku tak punya keinginan untuk memasuki
sekolah SMA, kalaupun ada bagaimana mungkin aku bisa merealisasikannya. Aku tak
bergeming sedikitpun dari lamunanku. Sampai aku menyadari bahwa semua mata
menatapku karena aku malah membiarkan Bu Mina mematung disampingku sambil
menunggu jawaban dari mulutku. “Ketika jam istirahat bisa ‘kan temui ibu
diruangan ibu!” Sampai Bu Mina berlalupun aku masih belum menuliskan satu
katapun dikertas yang Bu Mina beri tadi. Huuhh. Aku semakin bingung saja. Apa
aku akan dimarahi karena aku mengacuhkannya tadi?. Ya sudahlah aku tak peduli.
*****
Sampai
waktu istirahat tiba. Aku menuruti keinginan Bu Mina tadi untuk menghadapnya.
Aku duduk, dan aku merasa sedikit heran dengan tatapannya. Kami saling tak
bicara “Apa kamu ada masalah?” Tanyanya memecah keheningan. “Masalah? Banyak.
Bukankah hidup memang konflik.” Jawabku dengan santainya. “Baiklah. Bagaimana
dengan masalah yang tadi kita bicarakan didalam kelas?” aku kembali terdiam.
Aku kira pelajaran ini hanya 2 jam dalam 1minggu, tapi ternyata untuk minggu
ini aku mendapat tambahan. “Apa memang masalah yang sangat besar?” tanyanya
lagi. Aku kembali menatapnya, sambil mengumpulkan keberanian untuk mengatakan
sesuatu yang memang sejak tadi bergulat dalam pikiranku, namun bagaimana
mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. “Aku ingin masuk negeri.” Dia sedikit
mengkerutkan dahi, tanda tak mengerti apa yang aku katakan. “Aku ingin masuk
sekolah negeri. Tapi bagaimana mungkin. Aku tak pintar. Dan aku bukan orang
kaya. Kalaupun mungkin aku bisa bekerja, pekerjaan apa yang mau mengupahku
dengan gaji 1.000.000.000 per bulan untuk memenuhi biaya sekolahku diusiaku
yang masih sekecil ini.” Tuturku panjang lebar. Namun Bu Mina hanya tersenyum,
sambil mengacak-ngacak rambut kuncir kudaku. “Tak ada batasan seseorang untuk
bermimpi sayang. Bahkan semua orang harus memiliki satu saja minimal mimpi yang
harus menjadi target pencapaiannya. Mimpi itu harus terus dipupuk agar ia tetap
tumbuh dan akan menghasilkan bunga yang indah.” Aku menggaruk kepalaku, tanda
aku tak memahami apa yang dia ucapkan “maksudnya apa?” “Kamu punya mimpi.
Mimpimu adalah acuan untuk kamu terus berlari. Kamu harus bisa mencapai semua
mimpi itu. Tuhan tak tidur, DIA mengerti apa yang kamu butuhkan sayang.”
“Caranya bagaimana? Apakah aku harus bekerja mati-matian seperti ayah?”
“Tugasmu disini hanya belajar dan melakukan hal yang terbaik. Soal materi biar
Tuhan yang beri jalan. Tak ada yang mustahil didunia ini jika seseorang mau
berusaha dengan sungguh-sungguh. Apa kau mengerti?” Bu Mina kembali tersenyum
padaku . “Ya. Aku mengerti.” Aku memang mengerti kali ini. Aku mengerti apa
yang harus aku lakukan demi mewujudkan semua mimpiku. “Soal tugas yang tadi.
Boleh aku meminta kertas dan pulpen?” Bu Mina mengengguk kecil.
“Aku
ingin masuk sekolah negeri SMA 1 Tunas Bangsa. Alasannya karena aku ingin
mewujudkan semua impianku. Menjadi manusia yang bisa dihargai. Sukses dengan
hasil keringatku sendiri. Terlebih membuat ayah ibu juga kakak-kakakku bangga
padaku.”
Aku
pergi kembali kekelasku, dengan sebuah pencerahan yang Bu Mina alirkan
keotakku. Aku berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa
meneruskan sekolahku. Walau itu hanya sebatas beasiswa. Aku akan merasa bangga
sekali ketika seseorang menyebutku dengan kalimat “Dia (indah) dari keluarga
sederhana namun pintar sehingga dia mampu menjadi orang yang sukses.”
Salam
Semangat.
Deria Triana Fauzia “Fafaw”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar