Selasa, 21 Mei 2013

Makalah

Kegiatan ini memang selalu menyebalkan bagiku. Entah mengapa aku begitu membencinya. Benar sekali, membuat makalah itu hal yang paling membosankan. Belum lagi jika kita harus repot untuk mencari buku sumber dan literatur-literatur lainnya. Sangat memberatkan kepala. Sungguh. Mungkin ini untuk yang kesekian kalinya aku membeli makalah. Aku malas sekali untuk mengerjakan tugas ini. Untung saja dikelasku tidak cacat orang pintar, ya, meski masih bisa dihitung jari. Tapi sampai saat ini pekerjaannya selalu memuaskan. Nilaiku tak pernah jauh dari huruf A untuk semua makalahku. Paling kecil B. Aku memang cukup pintar sebenarnya, tapi, ya, itu dia malas sekali. Aku mulai menyadari, pantas saja sekarang orang pandai mulai tersaingi oleh orang bodoh yang rajin. Ya, aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak mengulanginya lagi. Jika dia tidak tahu maksudku.
Sudah sekitar 2 tahun aku menjadi mahasiswa. Tapi jariku masih saja belum terlatih untuk mengerjakan makalah sendiri. Sulit. Begitu kata otakku. Aku lebih baik membayar temanku untuk meengerjakannya, meski aku tahu sering kali dia membodohiku dengan memahalkan harganya. Tapi yasudahlah. Aku anggap saja aku membayar hasil kerja otaknya.
Kali ini perlajaran Ilmu Budaya Dasar. Tentu saja membuat makalah yang nantinya harus dipresentasikan ke teman-teman lain. Namun kali ini berbeda, setiap mahasiswa harus berkelompok masing-masing 2 orang. Kelompok dibagi berdasarkan nomor urut absen. Absenku nomor 24, aku harus berkelompok dengan absen nomor 25, seorang pria. Aku lumayan mengenalnya. Bagaimana tidak, kami 2 tahun bersama, belajar dikelas yang sama, mendengarkan dosen menceracau bersama. Tapi aku tidak begitu dekat dengannya. Dia pria yang sangat dingin, seperti sulit untuk beradaptasi dengan sekelilingnya. Setiap hari aku hanya melihat dia mengotak-atik komputer miliknya, tanpa pernah ikut berbaur dengan yang lainnya. Kalo dulu orang rajin itu disebut kutu buku, mungkin julukan yang cocok untuknya adalah kutu laptop.
Tentu saja. Mana mungkin aku harus membayar lagi untuk makalahku kali ini. Aku berkelompok, kalau membayar temanku lagi mana mungkin. Apa kata pria es itu nanti. Jadi untuk sementara ini aku harus menghentikan kebiasaan itu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan makalah itu dengan tanganku sendiri. Pusing sekali aku memikirkannya. Berat rasanya kepalaku.
“Kapan kita mau mengerjakan tugas makalahnya?” Aku gelagapan saat menyadari pria es itu ada dihadapanku membuyarkan semua pikiranku yang sedang melayang-layang memikirkan makalah sialan itu.
“A, secepatnya.” Aku menjawab sekenanya, aku takut dia menyadari kalau aku gugup. Ini kali pertama aku berbincang-bincang dengannya.
“Baiklah, kita kerjakan sekarang.” Ucapnya begitu santai sambil meletakkan laptopnya tepat disamping kursiku.
“Apa? Apa memang harus sekarang juga.? Ya ampun, apalagi ini? Belum selesai aku memikirkan semuanya dia sudah mengajak mengerjakannya sekarang. Manusia ini gila.
“Tadi kau bilang secepatnya. Kau tak usah khawatir, aku sudah meminjam beberapa buku sumber dari perpustakaan.” Kurasa mungkin ucapan itu sedikit menenangkanku. “Kau coba rangkum dari beberapa buku, sebelum aku mencari sumber lain dari internet.”
“Apa? Aku?”
“Tentu saja kau, memang kau pikir aku sedang bicara dengan jin.”
Ya tuhan, kali ini jantungku seperti sedang dipukul-pukul oleh petinju, detaknya cepat sekali. Aku tak tahu makalah membuatku begitu salah tingkah.
Tak memakan waktu yang begitu lama. Hanya butuh waktu 3 hari untuk menyelesaikan makalah ini. Bagaimana tidak? Dia kan kutu laptop. Sebenarnya memang dia yang banyak mengerjakan makalah ini. Hanya saja aku seringkali dibuat kalang kabut saat dia menyuruhku untuk mengetik. Menyeramkan. Aku bukan tidak bisa mengetik. Mana mungkin aku tidak bisa? Ayahku memiliki 2 komputer dirumah, dan 1 laptop milikku sendiri. Tapi berdekatan dengan pria sedingin es ini yang membuatku begitu gugup.
1 hal lagi yang aku ketahui tentang dirinya. Dia tidak begitu menyeramkan seperti yang selalu aku katakan. Dia seringkali membelikanku minum saat aku sedang mengetik. Cukup perhatian. Oh ya, dan belakangan ini kami sering makan siang bersama. Meski hanya sekedar untuk membahas makalah kami. Tapi bagiku itu menyenangkan. Dia juga sosok pria yang taat beribadah.
Pernah suatu hari dia keceplosan curhat padaku. Menceritakan tentang wanita yang dia sukai. Aku hanya bisa berkomentar sekenaku, padahal sebenarnya aku tidak begitu tertarik. Bagiku pria yang suka curhat itu tidak jantan. Tapi cepat aku lupakan. Dia juga mungkin sedikit malu karena sudah menceritakan masalah pribadinya kepada orang yang baru beberapa jam saja dia kenal.
1 makalah, 2 makalah, 3 makalah. Semakin sering kami mengerjakan makalah bersama. Sekarang aku juga sudah bisa membuat makalah sendiri, meski pria es itu seringkali kewalahan menjawab pertanyaanku. Tapi dia begitu banyak membantu. Hanya temanku mungkin yang rugi, dia jadi kehilangan kerja sampingannya.
Bersama dengannya begitu menyenangkan. Sekarang dia mulai berubah, lebih ceria. Dia juga tak absen menyapaku setiap pagi menyuguhkan senyuman manis yang membuat lubang pada kedua pipinya. Dia juga sering mengajakku makan siang. Jujur, aku mulai menyukainya.
Aku tak keberatan jika semua dosen menugaskanku membuat makalah setiap minggu, asal aku bisa bersamanya. Dengan pria es itu. Mengerjakannya bersama-sama. Meski aku selalu tahu, dia menyukai wanita lain. Bagiku, menghabiskan waktu untuk mengerjakan makalah dengannya begitu membahagiakanku.

Senin, 13 Mei 2013

VoiceNote



“Sayang, kamu masih dimana? Aku sudah 1 jam yang lalu menunggumu dihalte. Disini panas sekali.” Voicenote berhasil terkirim.
5 menit, 10 menit, 15 menit.... Tidak ada jawaban.
“Sayang, kamu masih meeting ‘yah? Masih lama tidak? Sayang, kamu akan menjemputku ‘kan?” Lagi-lagi voicenote itu berhasil terkirim.
“Sayang, kenapa kau tidak membalas pesanku. Handphone-mu sekarang malah kau matikan. Tolong jawab!” Gadis itu sudah pada ujung kesabaran. Dia masih terduduk lemas dihalte pemberhentian bus, sambil tangannya terus saja iseng memutar-mutar handphone-nya berharap ada pesan masuk untuknya.
Kembali lagi dilirik arlogy tangannya untuk memastikan waktu tidak berputar begitu cepat.
“Sayang, kau dimana? Aku khawatir padamu.” Gumamnya pelan. Sambil lagi-lagi dia menggigit bibir tipisnya.
(Suara mobil)
“Sayang.” Dia dengan cepat mendongakkan kepalanya. Dia hafal benar suara mobil kekasihnya.
“Sayang, kau kemana saja? Apa meeting-mu sudah selesai?” Tanyanya saat kaca mobilnya dibuka.
“Cepatlah masuk!” perintah kekasihnya dengan mimik muka yang tidak bersahabat dan tatapan mata yang tajam tanpa pernah melirik ke arah gadis itu.
Gadis itu mengangguk pelan dan segera masuk kemobil. Masih dengan wajah yang berseri. Dia selalu tersenyum. Bodoh sekali jika ada seseorang yang berani merusak ekspresi wajahnya dengan tidak begitu mengindahkan kehadirannya.
“Sayang, bagaimana meeting-mu tadi. Oh ya sayang, kenapa tadi kau mematikan teleponmu. Aku khawatir padamu.” Wajahnya berubah menjadi sedikit redup mengingat penantiannya 2 jam yang lalu menunggu kehadirannya.
“Aku baik-baik saja.” Masih dengan mimik yang menyebalkan jika dilihat.
“Baguslah kalau begitu.” Dia meluruskan pandangannya merasa cukup dengan jawaban sinis dari kekasihnya. Mereka terdiam lama, sambil terus menikmati lagu yang diputar oleh salahsatu stasiun radio.
***
Kringgg (suara telepon)
Samar-samar terdengar suara wanita dari ujung telepon.
“Sayang, aku tahu kau pasti belum bangun. Bangunlah! Kau bilang hari ini kau akan bertemu dengan client besar. Bagaimana jika kau terlambat menemuinya? Kau tidak mau itu terjadi bukan? Cepatlah bangun!”
“Ya. Ya. Aku tahu.”
“Baiklah. Aku harap setelah kuputuskan telepon ini kau tidak tidur lagi. Jika jam setengah tujuh kurang kau belum menelponku, maka aku akan datang kerumahmu. Have a nice day sayang. Muaahhh.” Panggilan terputus.  
“Mengapa wanita ditakdirkan begitu cerewet.” Lelaki 25 tahun itu menggeram pelan.
***
06.55
“Kau tak usah khawatir aku tidak tidur lagi. Aku sudah berangkat sebentar lagi sampai kantor. Kau jangan dulu menggangguku, kau tahu ‘kan hari ini aku akan bertemu dengan client besar, aku tidak mau terganggu karena kau merecokkanku. Dan nanti sore seperti biasa akan ku jemput dihalte.” Voicenote terkirim.
***
Seseorang kadang tak pernah tahu, dalam suatu hubungan sedikit sapaan sangat berarti. Ya, tidak tahu. Sebelum mereka merasakannya.
Hubungan mereka sudah berjalan sekitar 4 bulan lamanya. Cukup lama. Namun masih dalam suasana mesra-mesranya, seharusnya. 4 bulan lalu gadis itu memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada lelaki yang begitu dia cintai. Nekad? Memang. Tapi namanya perasaan, apa mau dikata sekeras apapun dihindari akhirnya akan sakit juga. Ya, 4 bulan waktu yang terlalu singkat untuk saling mengenal satu sama lain. Bagi lelaki itu tepatnya, mungkin untuknya butuh 1000 tahun untuk mampu memahami kekasihnya, perempuan yang 4 bulan belakangan ini menemaninya, memenuhi pesan diinbox handphone-nya dengan pesan-pesan cintanya, perempuan yang mendadak menjadi penghuni halte bus pada pukul 16.00 sampai 18.00. itulah cinta, memang menyakitkan. Semua orang mengatakan hal itu. Namun mereka tak akan pernah bisa mengukur indahnya cinta saat bersemi. Jadi kami rasa, semua keputusan memang harus ada konsekuensinya.
Menunggu itu sangat membosankan. Namun sebagian orang mengatakan menunggu itu lebih baik karena disaat dia menunggu ada hal yang bisa dia harapkan, buruk ketika seseorang sama sekali tidak ada yang bisa dia tunggu. Tapi tetap saja kenyataan tak seperti itu. Mengatakan nasihat kepada oranglain serasa begitu mudah dibanding saat kita mengalaminya sendiri. Namanya juga hidup.
***
Gadis itu sudah menunggu. Tepat pukul 16.00 dia sudah sampai di halte, berharap kekasihnya bisa menjemput tanpa harus membuatnya menunggu begitu lama. Seperti kemarin. Seperti hari kemarinnya lagi. Seperti hari kemarinnya lagi. Seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti 4 bulan belakangan ini.
Cinta. Jika terasa indah mengapa harus ada sakit. Jika sempurna mengapa selalu ada yang terasa kurang. Jika membawa bahagia mengapa begitu menyakitkan. Jika terasa manis mengapa kadang terasa pahit. Dan jika manusia tahu demikian mengapa masih mau berhubungan dengan cinta. Bukankah cinta itu menyakitkan, bukankah cinta itu tak sempurna, bukanlah cinta itu terasa pahit. Bukankah cinta itu meninggalkan luka?
Seseorang tahu cinta membawa luka, namun masih banyak orang yang mau berlari dijalannya. Bukan karena cinta yang sempurna, tapi dia mengerti saat dia bahagia karena cinta. Berharga. Dan dapat bergambar.
Gadis itu berdiam diri. Dia ingat pesan kekasihnya untuk tidak menganggu kerjanya. Dia menghargai apapun yang kekasihnya lakukan. Pekerjaan, kebiasaannya, kepribadiannya terlebih perasaannya. Raut wajahnya hari ini tak jauh berbeda dengan raut wajah hari sebelum-sebelumnya, sama seperti 4 bulan belakangan ini. Cemas. Itu yang selalu dia rasakan. Salahkah? Tidak. Lumrah bagi seorang perempuan mengkhawatirkan orang yang dicintainya. Dan lelaki itu? Gadis itu tak pernah tahu apa yang sedang dilakukan kekasihnya. Yang dia tahu selama ini adalah dia menunggu dihalte menunggu kedatangannya, tak boleh bertanya mengenai pekerjaannya kecuali pria itu sendiri yang mengatakannya. Hambar. Ya,bahkan mungkin pernah terlintas tak pernah ada cinta untuknya.
***
17.30
“Kau hari ini lebih cepat 30 menit dari sebelumnya.” Gadis cantik itu tersenyum kembali. “Hari ini kau terlihat bahagia sekali, sayang.” Ucapnya kembali untuk memulai perbincangan.
“Tenderku hari ini goal.” Jawabnya bersemangat.
“Oh ya.” Jawab gadis itu dengan tersenyum, membuat seolah-olah semuanya menarik. Itu bukan kabar baru yang dia ketahui. “Aku tahu kau pasti bisa melakukannya, sayang.” Kekasihnya pria yang pandai, bukan kali pertama dia mendapatkan tender-tender hebat seperti ini. Benar sekali. Ini berbeda, tak seperti yang sebelum-sebelumnya. Tak seperti minggu lalu dia mendapatkan tender yang lebih besar daripada ini.
Tadi siang, saat istirahat makan siang pria itu bertemu dengan teman lamanya. Wanita. Cantik. Jelas pertemuan yang istimewa, wanita itu adalah orang yang pernah dia sukai dulu. Dulu (Sebelum gadis itu menyatakan perasaannya). Dan mereka cukup lama berbincang-bincang. Bernostalgia lebih tepatnya. Jelas sudah apa yang membuatnya bahagia hari ini.
***

“Sayang, sebelum tidur jangan lupa cuci kaki sama tangan. Selamat tidur. Mimpi indah.” Itu bukan voicenote yang pertama kali yang berhasil dia kirim. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan voicenote yang dia kirimkan pada kekasihnya. Gadis itu berharap semoga ratusan pesannya tidak terbang secara sia-sia. Semoga.
***

24 Juni 2013
Sayang, aku ingin mengatakan hal jujur padamu. Mungkin kau akan marah,
karena ini akan sedikit menyakitkan. Bagiku. Aku tak tahu apa
pendapatmu nanti.
Sungguh. Tiga minggu belakangan ini kau berbeda. Kau berubah. Aku
hampir tidak mengenalimu. Aku tahu, kau sibuk dengan pekerjaanmu. Aku
mengerti. Tapi sayang, 4bulan lamanya aku menunggu keajaiban itu
datang, nyatanya semua terasa telah pupus. Mungkin aku sendiri yang
terlalu naif.
Sayang, maaf. Aku tahu, aku tidak pernah membuatmu merasa nyaman
disampingku. Ya, aku tahu. Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Sekeras
apapun kau akan menolak pernyataanku. Tapi sayang, perlu kau tahu. Aku
telah melakukan hal terbodoh sekalipun, itu bahkan hanya akan membuat
diriku tampak sangat bodoh bagimu.
Sayang, aku mencintaimu. Bukan mencintai duniamu. Dunia bisa kapan
saja berpihak padaku, tapi kau, kau sulit. Itu saja yang aku tahu
tentangmu.
Akhirnya aku harus katakan. Mengapa dulu kau tidak membiarkan aku
pergi, bahkan jika seperti itu mungkin saat ini aku sudah melupakanmu.
Menghilang jauh dari jangkauan panca inderamu.
Sayang, bukan aku tak sabar dengan semua ini.
2 hari lalu aku menemukan sepucuk surat tergeletak dimeja makanmu.
Amplop surat itu jelas tertuju untukmu, sempurna dengan sedikit
sobekan dibagian atas amplop itu, aku yakin kau telah membacanya.
Dengan rasa penasaranku aku lancang membuka surat itu. Disana terdapat
tulisan yang sangat rapi. Tersusun dari kata-kata dan kalimat-kalimat
yang terukir indah. Lengkap dengan tanda tangan sang pengirim surat
diujung paragraf dan, tanda lipstik bibir berbentuk sempurna.
Aku sampai gila memikirkannya. Menangis sepanjang hari, aku bahkan
tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Dengan segala pertimbangan yang salah besar sekaligus menyesakkan
dadaku akhirnya aku memutuskan untuk pertama kali menuliskan semua
perasaanku padamu. Sama seperti gadis pemilik tanda lipstik bibir itu.
Kau salah. Aku tidak cemburu. Aku tidak cemburu atas kejadian itu. Ini
bukan kali pertama aku mendapati pesan-pesan mesra untukmu. Bagaimana
tidak? Kau memang tampan. Siapapun orangnya pasti akan tergila-gila
padamu.
Aku hanya mulai berpikir, betapa licik aku berada pada posisi yang
bahkan tak pernah membuatmu merasa baik bersamaku.
Kau ingat? Hubungan kita bahkan diwarnai dengan
pertengkaran-pertengkaran disetiap harinya.
Sayang, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Entahlah. Entah berapa
banyak lagi aku tuliskan kalimat itu diatas kertas putih ini.
Kita masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Ya,
memperbaiki hari-harimu yang gelap karenaku.
Akan aku pastikan, tidak akan ada lagi panggilan tak penting dipagi
hari yang membangunkan tidurmu, tidak akan ada lagi alarm yang sengaja
aku sett untuk mengingatkanmu makan siang, tidak akan ada lagi
voicenote bodoh yang akan mengganggu meetingmu, tidak akan ada lagi
teriakan dari voicenoteku yang sedang menunggumu, tidak akan ada lagi
pesan singkat yang aku kirimkan untuk mengantarkan tidurmu.
Carilah! Carilah seseorang yang tidak akan melakukan hal bodoh
sepertiku. Mungkin gadis bibir lipstik itu?
Aku juga akan mencari seseorang yang tidak akan pernah merasa
keberatan dengan kehadiranku. Seseorang yang bisa mengerti perasaanku
tanpa perlu aku ungkapkan.
Aku akan terus mendengar kabar bahagia darimu. Kau berhak mendapatkan
kebahagiaanmu sendiri, tanpa harus terhalang olehku.

Tertanda,
Linda
***

Begitulah isi surat yang pertama dan mungkin akan menjadi terakhir
kalinya yang dia buat. Tertulis rapi, tak kalah bagusnya dengan surat
gadis bibir lipstik itu. Hanya bedanya, ada warna pena yang pudar pada
ujung kalimat dalam surat itu. Ya, gadis itu menangis. Menghabiskan
tenaga yang sengaja ia sisakan diakhir hari ini.

***
Saat itu semua terjadi, dunia terasa terhenti. Gadis voicenote itu
tidak akan lagi merasa cemas menunggu seseorang dihalte seperti yang
sering dia lakukan.

Kalian tahu? Terkadang kita merindukan sesuatu yang terbiasa hadir
disekeliling kita, bukan hanya karena kita mencintainya. Namun
penyesalan itu memang selalu datang terlambat. Dan bagi sebagian
orang, kesempatan kedua itu hanya sebagai wujud dari kemunafikan.